Rabu, 19 November 2008

Mahkota Cinta



(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

Satu
Mata pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan
terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari
riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari
karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia
tumpangi bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang
bertolak dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor
Bahru.
Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya.
Ia meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia
harus kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa-

siapa lagi. Bagi seorang lelaki cukuplah keteguhan hati
menjadi teman dan penenteram jiwa.
la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang
melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir.
Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani
berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang
lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan.
Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin
jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak
menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru,
Malaysia.
"Baru pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan
muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu
memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda.
Rambutnya diikat kucir kuda. Ia menaksir usia
perempuan itu sekitar tiga puluhan lebih.
"Iya Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya
balik bertanya.
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak."
"Tidak. Sejak awal 2001."
"Kerja ya Mbak?"
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia
mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama
ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain
untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang
lebih baik.
"Kok malah bengong Dik."

"E... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk duaduanya.
Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di
mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak
kerja di mana?"
"Saya kerja di sebuah kilang di kawasan Subang
Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya
banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan,
nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari."
Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya.
Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan
menjabat tangan perempuan muda itu.
"Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman
saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein."
"Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan
Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat
saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak
terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja
saya Zul Mbak."
"Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata
perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan
tangannya.
"Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?"
Perempuan muda itu malah tertawa kecil.
"Kamu memang masih asli Indonesia. Kilang itu
artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan
di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang

minyak. Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang
Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas."
"Obegituya."
"Rencananya nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah
ada tempat yang dituju?"
"Tempat yang dituju secara pasti tidak ada. Saya
hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon.
Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah
itu saya akan telpon orang itu."
"Ya syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur.
Kalau mau kita bisa jalan bersama."
la diam saja. Tidak menjawab apa-apa.
Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat.
Dan juga tidak terlalu lambat.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam,

Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru.
Begitu pintu feri dibuka, para penumpang berebutan
keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hi tarn
dan tas jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari yang
berjalan di depannya. Perempuan itu menenteng tas
cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau.
Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan.
Petugas security pelabuhan sibuk memeriksa barang
bawaan para penumpang. Tas dan koper Mari
diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari
dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul
juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa
makanan ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil
pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum

berangkat. Petugas security itu memerintahkannya
untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari
sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk
imigrasi.
"Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya. Kecuali kolom yang khusus diisi petugas
imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia
mencocokkan apa yang ia tulis dengan paspornya.
"Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi
Mbak."
"Sebaiknya iya."
"Wah saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di mana Mbak?"
"No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai,
Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk
apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong
dan mengunjungi saudara."
"Iya Mbak."
Keduanya lalu masuk konter imigrasi. Tak ada
masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak
bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya
visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa
datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti yang
disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan
sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas
bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung
menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya.
Ia masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke
151
arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari
menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut
dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke
Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar
asing di negeri Jiran ini.
"Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen
Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas
Mari.
Sepuluh menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan
puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar
mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak
Zul ke loketbus Trans Nasional.
"Biar saya yang bayar Dik."
"Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu orangnya berapa Mbak?"
"Dua puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada
toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera
naik. Sepuluh menit lagi bus akan berangkat."
Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari
duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia,
tampaklah wajah-wajah China, India dan Melayu
menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah
Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab
sebelum menjalankan bus ia membaca basmalah.
Bus berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah
kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah
jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor
Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus

itu membelah perkebunan kelapa sawit. Zul memandang
ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah
rimbunan pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke
belakang.
"Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa."
Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting
jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia
tampaknya agak kedinginan.
"Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau
Mbak?"
"Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah punya anak dong Mbak?"
"Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong
rumah tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma dua minggu?"
"Iya bisa dikatakan demikian."
"Suami Mbak meninggal?"
"Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan
rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi."
"Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal
yang tidak Mbak sukai."
"Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian
itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya.
Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil
mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang
menyesak dalam dadanya.

Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la
kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana.
"Mungkin ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk
sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan
daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali
membuka percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau
mendengarkan kan Dik?" lanjutnya sambil memandangi
Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu.
Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus
ke depan. Mari mulai bercerita,
"Saat itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya
berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya
itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak
mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan
diri saya untuk menyebut namanya. Saya
sangat membencinya hingga tujuh turunan.
"Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah
gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah
terpikat dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti
benar karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah
masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat
dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu
memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar
kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering
datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya
dengan limpahan hadiahnya.
"Sampai akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat
mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya
seperti terbang di angkasa saat itu, karena sangat
gembira. Saya benar-benar sudah tergila-gila padanya.
Ibu saya sebenarnya tidak setuju saya kawin dengan W,
karena ibu saya ingin saya menikah dengan putra Pak
Modin yang sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya
itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang
membuat saya menderita dan menanggung nestapa.
"Ringkas cerita, kami pun menikah. Kami menikah
tahun 1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru.
Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah di sana.
Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu
setelah menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia
bilang untuk urusan bisnis dengan temannya. Beberapa
hari setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti
runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan
over dosis dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui.
Keluarganya tidak peduli.
"Kakak perempuannya bahkan terang-terangan
mengatakan sangat membenci W. Dari kakak perempuannya
itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya
lelaki yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada
makhluk paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris
muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita bahwa
dirinya pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau.
Ia tidak berdaya karena W mengancam akan membunuhnya.
W itu tega memperkosa kakak kandungnya
sendiri, apa tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui
batas? Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung
mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benarbenar
jijik dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak
akan menikah lagi!"

Ada nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada
kebencian yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri
mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap
bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas
seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan
ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati
lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca.
Sesaat lamanya keduanya dijaga oleh diam.
Akhirnya Zul memberanikan untuk membuka suara,
'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan
kaum lelaki. Termasuk saya?"
Mari mengambil nafas dalam-dalam,
"Saat ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya
tidak boleh menimpakan dosa seorang W pada semua
kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang sangat
panjang untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada
kaum lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada
lelaki saya pernah punya keinginan untuk hidup
berumah tangga dengan kaum perempuan saja."
"Sampai seperti itu Mbak."
"Iya. Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan,
saya pernah punya keinginan. Hanya pada taraf
keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak
lagi."
"Sejak kapan Mbak bisa kembali normal memandang
dunia. Maaf, untuk mudahnya saya katakan
kembali normal memandang dunia, termasuk kaum
lelakinya. Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma
pada lelaki itu sikap tidak normal."

"Prosesnya sangat panjang. Sampai saya bertemu
dengan seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut
suaminya yang sedang mengambil program doktor.
Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk
memberikan pencerahan kepada kami, para tenaga kerja
wanita. Dan ia begitu sabar mendengarkan semua
keluhan saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu tidur
di rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah
tangganya. Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih
sayang suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya
yang semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu
bahwa ada juga lelaki baik di dunia ini."
"Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak
ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat
apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak
tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya."
Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah
rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana ceritanya Mbak bisa sampai ke
Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau diceritakan semuanya panjang. Singkat saja
ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia
sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di
Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya
piutang di beberapa bank yang cukup besar jumlahnya.
Saya tidak punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak
ragil. Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka
juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan
mereka.

"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari
kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah
sebelum menikah saya sudah selasai D.3
Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya
diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan.
Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai
kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung
kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi di Jakarta.
Tapi tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya
itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia
sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar
kembali kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi
meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi
ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga
kerja ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya
mengadu nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai
sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau
saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya
masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu
akan mengejar saya."
"Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah
perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi
oleh hukum?"
'Ah kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup
di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela
pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia
mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih
baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah
mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke

Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara
dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup
berkeluarga dan tenang di hari tua. Saya tidak akan
menyerah. Saya akan terus berusaha dan bertahan
sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya.
Semenderita dan sesengsaranya saya, saya masih percaya
bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha
Penyayang. Saya masih percaya itu Dik."
Zul hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya
dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit
dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya
bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit
yang tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun.
"Kalau adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai
harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi
dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama
ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan
cerita dari Zul.
"Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak
kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya
saja saya merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya.
Saya janji saya akan gantian membagi
cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa
bertemu di negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar
masih sudi menemui saya."
"Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah, kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu
jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si
W, mantan suami saya itu."

"Mbak kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya
berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak
tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak
saya jalan bersama?"
Mari tersenyum, lalu menjawab,
"Dengar ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka
seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang
brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya.
Dari cara lelaki memandang dan menatap saja saya sudah
tahu dia itu sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu
mana mata yang jelalatan dan yang tidak jelalatan. Saya
bisa meraba watak seseorang dari gerak dan binar
matanya. Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata
kaum perempuan pun saya bisa membedakan mana
mata pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan
baik-baik dan perempuan tidak baik!"
"Jadi Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya
sambil melihat ke luar jendela.
"Sejauh ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke
depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah."
Jawab Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat
dan intonasi perempuan itu seolah juga memberitahukan
kepadanya agar ia jangan mencoba bersikap meremehkannya.
Dari ketegasan itu, Zul mengerti bahwa
perempuan muda di sampingnya adalah perempuan
yang memiliki karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan.
Entah kenapa ia ingin memandang perempuan di
sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak
dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya
perlahan dan memandang ke arah wajah Mari. Mari
ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya
bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam
hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura
ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang
mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus
yang masuk begitu saja.
"Apakah ada kilatan binar serigala dalam mataku
Mbak?"
Mari tersenyum, dan menjawab,
"Jujur saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah
menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan
untuk menjaga pandangan."
Mendengar jawaban Mari, Zul diam dan tidak
berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar
jendela. Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit
yang seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam
hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia
memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia
menemukan sihir yang mampu mengubah dirinya
menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan
kalimat untuk menjawab perkataan Mari,
"Dan hampir semua wajah dan mata perempuan itu
memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala.
Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga.
Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak
berubah menjadi manusia serigala."
Mari tersenyum mendengarnya.
* * *

Menjelang Maghrib bus Trans Nasional memasuki
kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja
di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar
dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang
masih terjaga. la harus mengakui, Kuala Lumpur jauh
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang
menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok,
mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.
"Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak
kelihatan?" tanyanya pada Mari.

Dua
"Kamu jangan memandang ke arah situ. Pandanglah
ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah
Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah
Menara Kembar.
"Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat."
"Jangan tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu
yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan
di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah
menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya
taman KLCC. Taman itu terbuka untuk umum dan
gratis."
Zul langsung membayangkan nyamannya berjalanjalan
di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman
KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa
dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya.
Najibah pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman
Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan
mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali.
Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu.
Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu.
Sebab, gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah
menikah dengan orang lain. Ah, seandainya ia kaya,
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya
jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya
ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman
KLCC itu.
Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah
memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali.
Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera
menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta
ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa memberi
jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung
pada ketidakpastian.
"Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas.
Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini.
Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap saja
kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan saya dan Mas."
Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata
yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia
tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama
sekali tidak bisa memenuhi harapan orang yang
dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah, biaya
untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia
benar-benar merasakan betapa susah jadi orang tidak
punya. Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja
tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika
mengingatnya.
Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang
materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah.
Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia
tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya. Ia
merasa dirinya adalah orang paling miskin papa sedunia.
Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun
belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala
Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia
yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari saja
masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari. Wajar
jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma.
"Heh, melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya!
Ayo siap-siap turun!"

Zul kaget dan tersadar dari lamunannya.
"Kita sudah sampai Mbak?"
"Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun."
Mereka berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke lantai
dua. Tempat dimana para penumpang berkumpul
menunggu bus. Tempat dimana penumpang datang dan
pergi. Di lantai dualah puluhan waning penjual oleh-oleh
dan makanan dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen
bus membuka konter.
"Mbak ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul.
"Iya sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat
shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke sana."
"Tandas itu apa Mbak."
"Toilet. Kalau bahasa orang Demak kakus."
"Wah kok nadanya agak menghina orang Demak
thoMbak."
"Kamu ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!"
Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke
tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat bergantian.
Selesai shalat Zul bingung. la baru sadar kalau ia tidak
memiliki tujuan yang jelas. Mari hanyalah teman
bertemu di perjalanan.
"Inilah Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat datang
di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu berubah di sini.
Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau mau
menginap di mana?"
"Wah jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus
menginap di mana."

"Katanya kau mengantongi sebuah nama dan nomor
telpon itu bagaimana?"
"Ya, saya coba telpon dulu Mbak."
"Pakai hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum.
Tuh telpon umum antrenya kayak gitu," Mari mengulurkan
hand phone-nya..
Zul menerima hand phone itu dengan tangan
kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku celananya.
Ia mengeluarkan sobekan kertas. Lalu memanggil
nomor yang tertulis di kertas itu. Beberapa saat ia
menunggu tidak ada jawaban. Lalu ia ulangi lagi. Empat
kali ia memanggil dan tidak ada yang mengangkat.
"Bagaimana Dik?"
"Tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mungkin sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari
makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon lagi."
"Boleh."
Mari berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk
Terminal Purduraya. Dan bisa dipastikan bahwa
pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala
Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling
padat di Kuala Lumpur ini. Mari memilih makan di
Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang Muslimah
keturunan China.
"Bisa jadi kita nanti akan sulit bertemu. Bahkan
mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik
perlu bertemu dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu
bantuan saya. Saya akan kasih nomor telpon saya. Bisa
ditulis?" kata Mari selesai makan.

"Bisa Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa
Mbak nomornya?" jawab Zul.
"0176767676. Bacanya mudah 01 terus tujuh enam
empatkali."
"Wah mudah diingat Mbak."
"Coba orang yang kautuju itu dikontak lagi."
Zul langsung menelpon nomor yang ia telpon
sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga
berhasil.
"Tetap tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mmm...." gumam Mari sambil mengerutkan
keningnya.
"Saya coba lagi Mbak."
Zul kembali melakukan panggilan. Tidak juga
berhasil.
"Bagaimana, tidak berhasil juga?" tanyaMari.
"Iya."
"Kau di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan.
Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat
saya."
"Menginap di tempat Mbak?"
"Iya. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat
saya ada tiga kamar. Kau bisa menginap di salah satu
kamarnya. Paling tidak untuk sekadar melepas lelah.
Besok kau bisa mencari orang yang kautuju itu. Itu kalau
kau mau."
Zul terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa
di Kuala Lumpur ini. Nama yang ada dalam
sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak kenal. Nama
itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik
kelas Pak Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang sekarang
bekerja di Kuala Lumpur. Dan jujur ia memang perlu
istirahat. Perjalanan dari Batam sampai Kuala Lumpur
cukup membuatnya lelah. Apalagi dua hari sebelum
berangkat ia kerja lembur di sebuah bengkel.
"Bagaimana Dik? Kalau kau mau ayo kita berangkat.
Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di
bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget kalau
nanti ada operasi polisi dan kau dianggap gelandangan.
O ya bisa juga kau menginap di hotel Purduraya ini.
Tinggal kau jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya lumayan."
Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul.
Zul masih belum mantap menentukan salah satu
pilihan. Hati kecilnya ingin menginap di hotel. Tapi uang
yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa mungkin
harus menghemat.
"Sudahlah Dik ayo ikut saya saja. Besok kau bisa
pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas
seraya bergegas ke luar terminal. Ketegasan kata-kata
Mari membuat Zul seolah menemukan pilihan terbaik.
Ia pun mengikuti langkah Mari. Mereka keluar
menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat
meskipun ia harus menyeret tas kopornya. Zul berusaha
mengimbangi di sampingnya.
"Kita mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke
Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke Subang."
"Iya Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti
lupa."

"Ayo cepat.dikit."
Mereka berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk
sebuah supermarket dan belanja makanan, sikat gigi,
odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan
supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali
berjalan. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai
di Pasar Seni. Mari langsung naik Rapid KL jurusan
Subang. Zul ikut di belakangnya. Setelah membayar
karcis mereka duduk. Bus berjalan perlahan.
"Jangan kaget, nanti kau akan tinggal di tengahtengah
tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu
semuanya wanita. Saya salah satu di antaranya. Rumah
saya dihuni enam orang. Ada tiga kamar. Satu kamar
berdua. Kebetulan ada dua orang yang sedang pulang
ke Indonesia. Jadi saat ini dihuni empat orang. Kau nanti
bisa tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya
ada kamar mandinya. Jadi kau tidak akan mengganggu
teman-teman saya yang lain."
Mari menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan
dengan seksama. la merasa sudah terlalu
banyak berhutang budi pada perempuan muda yang
baru dikenalnya itu.
"Mbak baik sekali. Entah bagaimana saya harus
membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak."
"Jangan berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia
sudah semestinya saling tolong menolong. Iya tho.
Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho Dik. Apalagi
kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang Indonesia
dan sama-sama orang Islam. Sudah jadi kewajibanku
membantu adik. Ya anggap saja aku ini kakakmu."

"Iya Mbak. Terima kasih Mbak."
Rapid KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena
kelelahan Zul tertidur. Cukup pulas. Mari mengamati
dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya
itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak begitu
muda. Ada guratan derita di sana. Namun ada juga gurat
keberanian dan kenekatan. Mari memperkirakan umur
pemuda ini lima tahun lebih muda darinya. la telah
masuk dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari
dua puluh dua.
Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai
di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun
dengan tergagap,
"Sudah sampai tho Mbak?"
"Sudah Dik."
Mari turun diikuti Zul.
"Kita perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba
di rumah. Tak apa ya?"
"Tidak apa Mbak."
Mereka berjalan memasuki kawasan Taman Subang
Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang
teman-temannya.
"Rumah saya rumah teras. Rumah teras artinya ya
rumah biasa seperti rumah-rumah di Indonesia yang ada
terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya menyewa
bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada
tiga kamar. Kamar paling depan ditempati oleh Linda
dan Sumiyati. Linda asli Sukabumi, ia lahir di Amsterdam.
Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati

jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus
jaga iman kalau berhadapan dengannya! Terus teman
sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati juga
sudah bersuami. Kamar tengah saya yang menempati.
Saya sekamar dengan Iin. Kami memanggilnya Iin.
Nama aslinya Mutmainah. la asli Pati. Iin sudah bersuami
dan punya dua anak di Pati. Kamar yang paling belakang
saat ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan
Watik. Keduanya sedang pulang kampung. Mereka
berasal dari satu kampung di Kendal Jawa Tengah.
Sebetulnya kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik yang
kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya.
Lebih baik nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar saya
dan Iin yang tidur di kamar Reni."
"Iya Mbak."
"O ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka itu banyak
bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling
suka ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak ingin
ngobrol kau nanti langsung saja tidur."
"Iya Mbak."
Lima belas menit berjalan akhirnya mereka sampai
di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan
perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi
dengan pintu besi. Mari langsung membuka pintu. Dan
begitu ia masuk ia langsung disambut histeris temantemannya.
"Oi, Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan
muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos
oblong.

"Hei kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan
berdaster panjang.
"Iya. Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia
mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari.
"Adik apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek.
Mari hanya tersenyum kecut.
"Kenalkan saya Zul, dari Demak."
"Saya Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan
bercelana pendek.
"Aku Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster
memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo anggep
wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep wae ning ngomahe
keluargane dewe."2
"Inggih matur nuwun Mbak."3 Jawab Zul.
"Si Linda mana?" tanya Mari.
"Seperti biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang
lalu ia dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati.
"Tak ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan
nada tidak suka.
"Yo mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan
baginya untuk taubat," lirih Iin.
"Amin!"tukas Mari.
"E... Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk
Mas. Monggo5 Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk
duduk di kursi.

'Aku lin. Dari Pati Mas.
2 Ya anggap saja ini di rumah sendiri. Anggap saja di rumah keluarga sendiri.
3 lya, terima kasih Mbak.
4Semoga
5 Mari, silakan
"Ya Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk.
Sumiyati lalu bergegas ke dapur membuat minuman.
Sementara Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari
meminta Iin membantu merapikan kamar dan tempat
tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar
yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat. Dengan
cepat mereka merapikan dan menyimpan pakaian dan
perkakas milik kaum perempuan yang tidak sepatutnya
dilihat kaum lelaki. Setelah mereka lihat rapi dan mereka
teliti tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke
ruang tamu dan mempersilakan Zul membawa tasnya
ke kamar.
Zul menurut. Ia membawa tasnya ke kamar. Ia masuk
dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di kamar
itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya
dengan kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di
Batam. Zul mencopot jaketnya. Beberapa menit
kemudian kamarnya diketuk.
Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat
dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di supermarket.
"Istirahat saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada
sikat gigi yang masih baru, juga sabun cair, bisa kamu
pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya siapkan
di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan nampan
itu di atas meja rias.
"Terima kasih Mbak."
"Jika perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang.
Saya ada di sana."
"Iya Mbak."

"Baik. Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum.
Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar
dengan pelan.
Zul merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu.
Terasa nyaman. Tapi ia merasa kulitnya seperti lengket
dengan pakaiannya. Sangat tidak nyaman. Ia lalu
beranjak ke kamar mandi dan mandi. Air yang
mengguyur sekujur tubuhnya itu serasa meremajakan
seluruh syaramya. Barulah setelah mandi iabisa istirahat
dengan nyaman. Sesaat sebelum tidur kilatan senyum
Mari yang tulus terbayang di mata. Ia tersenyum. Tibatiba
ia teringat perkataan Mari tadi siang,
"Jujur saja Dik ya, hampir di semua mata lelaki ada
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah
menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan
untuk menjaga pandangan."
Ia kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur.
* X- *
175
Pukul tujuh pagi, Zul baru bangun tidur. la kaget karena
bangun terlalu siang. Sinar matahari telah menerobos
jendela dan masuk ke dalam kamarnya. la langsung
bangkit dan mengambil air wudhu dengan tergesa-gesa. la
belum shalat Subuh. Ketika hendak shalat ia bingung arah
kiblat. Terpaksa ia keluar kamar untuk menanyakan arah
kiblat. Di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang santai,
Sumiyati dan Iin sedang asyik nonton televisi.
"Waduh arah kiblat mana ya? Waduh kok saya tidak
dibangunkan. Jadi terlambat shalat Subuh!" Kata Zul

Tiga
setengah menggerutu. Tidak jelas kepada siapa kata-kata
itu ia tujukan. Pada Sumiyati atau pada Iin, atau pada
kedua-duanya.
"Maaf Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat
ke arah jendela Dik." Jawab Iin kalem sambil memandang
ke arah Zul yang masih jelas bekasnya dari tidur.
Zul kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia
kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari.
"Lha Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?"
"Ya tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di
rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi.
Biasanya shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi
setelah shalat Subuh ia langsung berangkat kerja." Jelas
Sumiyati santai sambil mengambil kacang tanah yang
ada di depannya. Lalu mengeluarkan isinya dan
memasukkan ke dalam mulutnya.
"O ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau
kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju
dan mau pergi pagi ini atau siang ini tidak apa-apa. Kalau
masih betah dan mau menginap barang satu dua hari
lagi ya tidak apa-apa. Hanya saja Mar minta kalau siang
ini orang itu tidak juga bisa kauhubungi kau sebaiknya
menginap semalam lagi. Siang ini dia akan mencoba
mencarikan informasi tentang tempat yang lebih pas,
sekaligus informasi tentang pekerjaan jika ada/' Iin
menyahut.
"Sebaiknya, siang ini Mas istirahat saja dulu di sini.
Kan baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak
Mar jika nanti ia kembali," sambung Sumiyati memberi
saran.

"Saya mau keluar sebentar Mbak. Sekalian lihat-lihat
lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang harus saya
hubungi itu sekali lagi," kata Zul.
"Ya, hati-hati Dik. Jangan lupa bawa paspor ya,"
tukas Iin
Zul keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari
rumah itu ia menemukan warung kelontong, namun di
situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada wartelnya.
Dari wartel itu ia mencoba menelpon nomor yang ia catat
dari Pak Hasan. Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak
juga berhasil. Ia mencoba menelpon Pak Hasan yang ada
di Batam juga tidak berhasil. Nomor Pak Hasan sedang
tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua
perempuan itu telah rapi dan siap pergi.
"Dik kami harus berangkat kerja. Ini kunci rumah,
siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau pergi
meninggalkan rumah, tolong rumah dikunci. Dan
kuncinya letakkan saja di bawah pot bunga itu. Oh ya
sarapannya sudah kami siapkan di dapur. Makan saja
yang banyak. Maaf seadanya." Dengan lembut Iin
menjelaskan.
"O ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia.
Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak biru
itu," sahut Sumiyati. "Kami pergi dulu ya. Yah demi
mencari sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil membuka
pintu. Mereka berdua lalu bergegas meninggalkan
rumah. Ketika mereka sampai di halaman hendak
membuka pintu gerbang, sebuah mobil sedan Proton
Wira berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang
perempuan berpakaian sangat ketat keluar dari mobil

itu. la melambaikan tangan pada pengendara mobil yang
bermata sipit.
"Baru pulang Lin?" sapa Iin.
"Iya Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan
itu santai.
Zul melihat dari pintu yang masih terbuka.
"Kamu itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikitsedikitlah
Lin? Ingatlah hari akhir kelak Lin!" Iin
menasihati dengan suara lembut.
"Aduh Mbak, kalau mau ceramah di masjid saja.
Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak. Saya harus
istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa
dial?" ketus Linda.
"Itu adik saya dari Demak," jawab Iin.
"Orangnya baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut
santai saja," timpal Sumiyati.
"Siapa yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki.
Apalagi lelaki Indonesia kurus kaya gitu. Lelaki dari
Amerika, Rusia bahkan Nigeria sekalipun saya tidak
pernah takut! Kenapa kalian masih mematung saja di
sini. Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru
tahu rasa!" sengit Linda.
"Ya udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baikbaik
ya Lin."
"Ya," jawab Linda singkat sambil beranjak masuk
rumah.
Ketika masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri
di samping pintu Linda menyapa datar,
"Halo Mas, baru datang dari Indonesia ya?"
"Iya," jawab Zul singkat.
Linda langsung masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Zul masih berdiri di samping pintu memandang
lurus ke depan, ke halaman dan jalan. la mendengar
dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan ia bisa
meraba, kira-kira apa pekerjaan perempuan muda
bernama Linda yang baru saja menyapanya itu. Dan
siang itu ia bisa jadi hanya akan berdua bersama Linda
di rumah yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan ia
kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya
tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak
berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja
terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap
baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan
perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan
tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari
pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat
kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar.
Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan
akan bersikap bagaimana.
"Mas pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim
membuka pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya
yang hanya berjarak beberapa meter dari
tempat Zul berdiri. Secara reflek Zul menengok ke arah
suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda
merebahkan tubuhnya begitu saja di tempat tidurnya,
dengan sepatu hak tingginya masih terpasang di kedua
kakinya. Zul merasakan getaran dalam dadanya. Ia
langsung menutup pintu dan bergegas masuk ke
dalam kamarnya.

Sementara Iin dan Sumi masih berjalan ke arah
hentian bus. Dalam hati Iin memanjatkan doa agar Linda
kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh dari
kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat sayang
pada gadis cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. la
ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Linda di
pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur. Linda yang
berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai
karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di
Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di
bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda
sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya
pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh
majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI.
Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda
memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang
keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri
tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda.
"Saya harus cari uang dulu. Ibu saya tidak mungkin
membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak mengenalnya
sejak kecil. Ibu hanya cerita ia orang Belanda dan
sudah menikah lagi di sana. Sudah jadi orang penting di
Belanda. Ibu saya tidak meridhai jika saya minta uang
sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh
ke Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah saya,
atau keluarga ayah saya. Ibu saya sangat dendam pada
ayah saya, dan dendamnya itu telah diwariskan pada
saya. Saya tidak akan menceritakan perihal dendam itu.
Pokoknya dendam yang sangat menyakitkan. Intinya
ayah saya pernah memperlakukan ibu saya dengan

sangat tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat mengandung
saya.
"Ya alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu
saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta dan
langsung mendapat pekerjaan. Sekarang saya bisa kerja
di Kuala Lumpur ini dengan gaji yang lumayan. Saya
akan menabung. Kalau bisa saya akan lanjut kuliah S.2
di sini baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses,
kaya dan bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui
ayah saya dengan kepala tegak. Bahkan saya bercitacita
harus kaya hingga saya nanti bisa punya perusahaan
besar di Belanda. Harus lebih kaya dari Mr. Van
Braskamp.
"Van Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang
Belanda. Tapi saya sama sekali tidak kenal budaya
Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di Sunda.
Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak
meninggalkan apa-apa kepada saya kecuali warna
kulitnya yang membuat saya lebih putih dari ibu saya.
Itu saja. Tapi saya akan membuktikan pada ayah saya
itu, suatu saat saya bisa lebih terhormat dari ayah saya
di negeri ayah saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau
Mbak Iin punya cita-cita apa? Untuk apa kerja di
Malaysia ini?"
Iin masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan
kepala lalu menjawab,
"Saya tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik
Linda. Saya hanya ingin dapat uang. Bisa membiayai
suami saya yang sedang sakit dan bisa membiayai dua
anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang diasuh

oleh adik saya. Itu saja. Juga punya tabungan untuk buka
warung di kampung. Itu saja Dik Linda."
Saat itu Linda tersenyum dan mengangkat kedua
tangannya seraya berdoa,
"Semoga cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah.
Amin."
Dalam hati ia ikut mengamini.
Di pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar
nomor hand phone dengan Linda. Linda yang memberi
nomornya dulu.
"Mbak ini nomor hope saya. Siapa tahu Mbak atau
teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan
tiketkesaya."
Sejak itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda.
Beberapa kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja di
Menara Kembar Petronas KLCC. Seringkali Linda
mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya mengajak
shalat di surau yang ada di sana. Ia melihat Linda begitu
agamis. Dan dalam balutan jilbab muka Indo itu bagai
bidadari surga yang turun ke bumi. Ia sangat takjub pada
keelokan dan kebaikan Linda. Dari rasa takjub itulah rasa
sayangnya pada Linda terbit.
Sejak kenal dengan Linda, ia sering membayangkan
alangkah enaknya bisa kerja seperti Linda. Duduk tenang
di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi.
Kerjanya cuma mengangkat telpon. Lihat layar
komputer. Dan nulis nota. Tidak seperti dirinya yang
harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang
6 Semacam warung kelontong.

kasar dan pelit. Itulah yang ia pikirkan pada waktu itu.
Dan ia merasa alangkah beruntungnya Linda. Cantik,
pintar, masih sangat muda, dan berpenghasilan tinggi.
Tapi ia segera menyadari siapakah dirinya dan siapakah
Linda. Dirinya tak lebih hanya lulusan MTs dengan
penampilan sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana
dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh
dikerjakan oleh orang desa—dengan wajah pas-pasan—
yang hanya lulusan MTs seperti dirinya.
Tapi jika melihat kehidupan Linda saat ini, ia yang
hanya orang desa dan cuma lulusan MTs seperti dirinya
merasa lebih bahagia daripada Linda. Buat apa pandai,
sarjana dan cantik jika hanya menjadi budak nafsu dan
setan. Dan hidup dalam lembah kehinaan.
Baginya, sebagai wanita, kehormatan diri dan
kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa
kali ia berusaha mengingatkan Linda, baik dengan cara
yang paling halus maupun cara yang sangat terangterangan.
Baik dengan sindiran maupun ancaman siksa
neraka jahanam. Tapi ia melihat Linda sama sekali tidak
ada perubahan. Bahkan shalat pun sudah ia tinggalkan.
Ia sudah jarang melihat wajah blesteran Sunda Belanda
itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari surga yang
turun ke bumi itu telah hilang.
Jika menghayati apa yang terjadi pada Linda,
hatinya sering miris dan merinding. Betapa berbedanya
Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya
ketakwaan itu sirna dan iman itu hilang lenyap di akhfr
zaman seperti sekarang. Tidak sedikit orang yang dulu

dikenal karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak
lama dikenal karena kedurhakaannya.
"Na'udzubillahi min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah
hamba dari itu semua. Jangan Kaubiarkan iman ini lepas
dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam hati sambil
mengusap airmatanya.
"Kenapa menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati.
"Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda.
Jauh-jauh merantau ke sini, siang malam hanya untuk
menjual kehormatan dan bermaksiat. Kalau tidak mau
bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia, rugi di
akhirat."
"Iya Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup
bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca
Yasin. Tapi sekarang sepertinya dia tidak memiliki Tuhan."
"Hus. Jangan bilang begitu Sum!" bentak Iin,
"Semoga saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih
mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya.
"Semoga saja Mbak. Hidup di perantauan seperti kita
ini memang tidak mudah. Keimanan kita benar-benar
dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si Karan
kawan kerja saya di restoran sering menggoda saya. Saya
takut tergoda Mbak."
"Kau harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk.
Kita harus sating menguatkan dan mengingatkan.
Kita harus sating mengingatkan bahwa
perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang
berzina, orang itu akan sulit lepas dari belenggu dosa
itu. Sangat memungkinkan ia akan melakukan yang

kedua, ketiga dan seterusnya. Dan itulah yang dikehendaki
setan. Jangan kita biarkan diri kita terperangkap
oleh kesempatan melakukan dosa besar itu.
Sebisa mungkin kesempatan itu jangan dibiarkan ada.
Aku sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik.
Tetapi aku juga mengalami apa yang kaualami. Banyak
yang menggoda. Tapi aku berusaha untuk kuat dan
berusaha menjaga agar jangan sampai setan menciptakan
kesempatan melakukan perbuatan dosa besar itu. Sebab,
jika kesempatan itu tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat
untuk mencegahnya. Di antara caraku menjaga diri
adalah dengan tidak pernah meladeni segala bentuk
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS
yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan
begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak
berlama-lama ngobrol di tempat kerja."
"Gitu Mbak ya?"
"Iya."
"Wah, untung Mbak kasih tahu. Si Karan itu
inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan
sering ngajak nonton film."
"Kalau ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun."
"Iya Mbak."
"Linda pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini
bermula dari menanggapi SMS iseng teman kerjanya,
seorang pria muda asal Singapura."
"Cerita detilnya bagaimana Mbak?"
"Aku juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah
menyinggung bahwa semuanya bermula dari SMS iseng

seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria muda
yang menawan. Itu saja."
"Eh Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak
Sumiyati.
"Wah iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata
berbinar.
Mereka berdua langsung mempercepat langkah. Bus
Rapid KL semakin mendekat, merapat di halte, lalu
menurunkan dan menaikkan penumpang. Kedua
perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut
ketinggalan.
* * *

Zul tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar
Mari. Kedua matanya memandang langit-langit kamar
yang berwarna putih bersih. Sementara pikirannya
melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari
Batam hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang
sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia
masih juga berpikir apa yang harus ia lakukan siang itu.
Apakah tetap diam di rumah itu menunggu Mari pulang.
Sehingga ia bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah
ia nekat saja pergi dari rumah itu. Kenapa ia mesti
menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia bisa nekat,
sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan bukankah
sebenarnya ia pergi ke Malaysia juga berbekal nekat.
Kalau ia nekat pergi dari rumah itu, siang itu juga,
lalu ia mau pergi ke mana? Ia tidak hafal Kuala Lumpur
dan sekitarnya. Apa asal pergi saja. Yang penting jalan.
Seperti waktu ia dulu nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris mari

di Jakarta karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia
akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat,
berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa
sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh
ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima
puluh ringgit?
Ia lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu
Mari pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih jelas.
Mungkin informasi ada pekerjaan yang membuatnya
bisa bertahan bahkan bisa memperbaiki nasib. Apa
salahnya menunggu sampai sore hari. Ia bisa tidur
seharian di kamar itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar
itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar.
Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa
terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik
padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu
siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia
telah mendapatkan informasi dan petunjuk yang
mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi.
Zul mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua
matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya
buyar begitu telinga mendengar suara orang mandi. Ia
langsung yakin yang mandi itu adalah Linda. Sejurus
kemudian ia mendengar televisi dinyalakan. Ia lalu
mendengar lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit
keras. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan kedua
matanya.
Ia lalu bangkit dari kasur. Ia yakin tidak bisa tidur.
Ia lalu melihat-melihat isi kamar itu, ia mencari sesuatu
yang bisa dibacanya. Di samping meja rias ia melihat

setumpuk majalah dan koran. Juga ada beberapa buku.
Ia lihat buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa
Inggris. Ia ambil satu. Judulnya International Monetary
and Financial Economics. Ia buka buku itu. Di halaman
paling depan ia menemukan nama pemilik buku itu
tertulis dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China.
Di bawah buku itu ada buku bersampul biru tua. Ia
ambil. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game
Theory with Applications to Economics. Ia menggelenggelengkan
kepala. Orang yang bisa memahami buku
seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka
halaman depan. Nama pemilik buku dan tanda
tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI,
Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu.
Ia jadi bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti
itu bisa ada di dalam kamar Mari dan Iin? Siapakah yang
selama ini membaca buku itu? Mari kah? Atau Iin kah?
Apakah mungkin mereka berdua bisa memahami buku
berbahasa Inggris? Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia
bisa sebodoh itu. Bisa jadi orang China yang namanya
tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang yang
memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan
bukankah Mari mengatakan pemiliknya adalah orang
China? Ia menduga pemiliknya adalah orang China yang
menikah dengan perempuan Melayu.
Sangat mungkin, pemilik rumah itu tidak mengemasi
bukunya dan membiarkan buku-bukunya tergeletak
begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya
jadi satu dengan majalah dan koran di samping meja ,
rias. Atau entahlah, yang jelas ia menafikan jika yang

punya dan yang membaca buku-buku ekonomi
berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat
tampang dan penampilan mereka sangat meragukan,
dan sangat tidak meyakinkan.
la lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang
terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan
Hongkong. la mengambil yang terbitan Indonesia. la
bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa lama
kemudian ia merasa mengantuk. Entah kenapa setiap
kali ia membaca rasa kantuk itu menyerang dengan
cepat. Saat ia berada di antara sadar dan tidak sadar
karena mulai masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar
pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi
memejamkan mata.
"Mas! Mas! Halloo! Buka dong!"
Itu jelas suara Linda.
"Iya. Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju
pintu.
Begitu pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang
sangat berbeda dengan wajah yang tadi ia lihat saat
Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di hadapannya
tampak segar, dan menawan. Linda menyungging
senyum yang membuat dadanya berdesir. Ia sepertinya
belum pernah melihat pesona sesegar wajah Indo yang
ada di hadapannya.
"Hallo Mas, maaf mengganggu. Tadi kita belum
kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya Linda
Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di
Kuala Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan
tangan kanannya mengajak berjabat tangan. Zul

langsung menjabat tangan itu sambil memperkenalkan
dirinya,
"E... nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari
Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?"
"Ya. Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran Sunda-
Belanda. Tapi aku tetap merasa sebagai orang Indonesia.
O ya kapan Mas Zul sampai?"
"Tadi malam."
"Berarti bareng Mbak Mar?"
"Ya."
"Tadi Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin,
benar?"
Zul tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab,
"Dikatakan adiknya Mbak Iinjuga boleh."
"Lho kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi
sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?"
"Ah itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?"
"Iya saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia
kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya
istirahat."
"Jadi siang ini mau di rumah saja?"
"Lha iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali.
Mau keluar cari makanan rasanya malas sekali. Aku
tengok di dapur ada nasi goreng. Itu pasti disedikan
untuk Mas Zul. Boleh saya minta sedikit Mas. Atau kita
makan bareng. Bagaimana? Mas Zul belum sarapan
kan?"
"Belum."
"Ayo kalau begitu kita makan bersama. Kita makan
di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul mau
minum apa? Aku bikinkan."
"Teh panas boleh."
"Baik. Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil
nonton televisi."
"Baik."
Linda ke dapur membuat minuman dan mengambil
makanan. Zul melangkah ke ruang tamu lalu duduk di
sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak
lama kemudian Linda muncul dengan membawa
nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh
manis. Zul mendongakkan muka dan melihat ke arah
Linda yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian
yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda
memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar
tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di
tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku.
Linda meletakkan nampan di meja dan langsung
duduk di samping Zul. Bau wangi parfum Linda tercium
jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi makan,
ia masih menata pikirannya yang ia rasakan mulai kacau.
"Kok bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya
sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak enak."
"E... iya Mbak."
Zul mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai
menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang
menata kembali pikirannya yang mulai berpikir yang

"Rencana siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak
ada rencana, di rumah saja menemani aku. Aku bawa film
Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja di rumah.
Kalau nonton film sendirian rasanya tidak seru."
"Saya belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya
sebenarnya ingin jalan-jalan."
"Sebenarnya aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi
kurasa, aku harus istirahat dan nyantai di rumah. Kalau
Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa. Kebetulan aku
ada kunci dobel. Sebentar ya."
Linda menghentikan makannya dan beranjak ke
kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci.
"Ini bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan
yang ini kunci pintu. Kalau Mas keluar dan saat pulang
aku sedang tidur tidak perlu membangunkan aku. Bawa
saja kunci ini selama Mas di sini."
"Terima kasih."
"O ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana?
Sudah ada agen yang mengatur?"
"Belum tahu. Masih mencari."
"O jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas
mau. Bagaimana kalau kerja di hotel tempat aku kerja. Tapi
kerjanya malam sih. Kalau mau, bisa aku coba hubungkan
ke pihak personalia. Aku kenal baik dengan penanggung
jawabnya. Gajinya lumayan kok. Bagaimana?"
"Nanti saya pikirkan."
"Sejak jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang
banyak berpikir dan merenung. Jangan terlalu dibuat
serius hidup ini Mas, cepat tua nanti. Itu Mbak Mar, coba

nanti kalau ketemu kauamati dia baik-baik, karena ia
juga terlalu serius memikirkan hidup jadi kelihatan jauh
lebih tua dari umurnya. Padahal ia hanya selisih satu
tahun saja dariku."
"Benarkah?"
"Serius. Mbak Mar itu terlalu banyak mikir.
Semuanya dia pikir. Mau makan saja dia mikir, ini halal
tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak kenapa
tidak? Sekarang aku menemukan agama baru. "
"Agama baru?"
"Ya. Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala
yang enak-enak itu jadi ajarannya. Itulah agamaku
sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha membebaskan
manusia untuk berenak-enak."
"Astaghfirullah. Meskipun yang kelihatannya enak
itu dilarang agama."
"Agama yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas
tidak melarang. Kalau agama Islam seperti agamamu,
aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu."
"Wah itu namanya agama hawa nafsu."
"Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa
enak, merasa bebas, merasa merdeka."
"Kalau di KTP apa agamamu?"
"Ya Islam."
"Lho kok Islam?"
"Ya untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih
banyak orang. Termasuk kakek dan nenek saya yang
sangat fanatik dengan agama Islamnya."

"Itu berarti kamu munafik."
"Kalau munafik itu enak kenapa tidak?"
Zul jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya.
la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia seperti
itu dengan cara berpikir seperti itu.
"Baiklah Mas, saya akan cerita sedikit tentang
pekerjaan saya. Daripada nanti Mas mendengar cerita
yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung
mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada saya
disebut munafik lagi. Sudah saya katakan agama saya
adalah agama enak. Pokoknya yang enak-enak itulah inti
ajarannya. Maka saya cari profesi adalah juga profesi yang
menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya,
profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain
bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan
dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri.
"Profesi saya adalah menyenangkan orang-orang
penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan.
Pekerjaan saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang
awam menyebut orang seperti saya ini sebagai pelacur. Ada
juga yang menyebut sebagai perempuan sundal. Macammacamlah
sebutannya. Tapi saya, berpegang pada
keyakinan saya, maka saya menyebut diri saya adalah
seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan
keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?"
"Aku hanya merasa kasihan padamu?"
"Kasihan, kenapa kasihan?"
"Entahlah, hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang
awam juga. Tidak tahu apa-apa. Agama juga tidak tahu.

Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku
mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan
hidup enak dan hidup senang. Tapi hidup dalam keadaan
sangat memprihatinkan. Dan perlu dikasihani."
"O ya?"
"Terserah. Cuma aku yakin, yang tadi bicara bukan
nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau
menderita sakit, coba aku ingin dengar apa yang akan
kaukatakan dan kauucapkan?"
"Kau ini jahat. Masak berharap aku sakit dan
menderita."
"Kau salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap.
Tapi manusia yang normal terkadang ada saatnya sakit
juga. Saat sakit itulah manusia lebih banyak berbicara
dengan nuraninya daripada dengan nafsunya. Lha saya
ingin tahu apa yang akan kaukatakan saat kau dalam
keadaan seperti itu. Apakah berarti saat kau sakit kau
sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak itu sudah
tidak ada lagi. Atau bagaimana?"
"Saya akan bertahan dengan agama saya. Saya
yakin dengan temuan saya."
"Yah kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku."
* * *

Empat
Selesai makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke
pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah
itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari
dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah
imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa
nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah
sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu
menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada
dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus
mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia
tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di

negeri orang. Mau tinggal di mana saja belum jelas.
Pekerjaan juga belum jelas. Melangkahkan kaki mau ke
mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam
situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan
Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya,
"Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati
jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus
jaga iman kalau berhadapan dengannya!"
Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh
dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan
dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari
api itu. Jika tidak maka api itu akan membakar dan
menghancurkan.
"Maaf Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan.
Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah
terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya datang
lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata
Zul pada Linda.
"O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?"
sahut Linda
"Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur
naik apa ya?"
"Tadi malam datang pakai apa?"
"Bus "
"Rapid KL ya?"
"Iya."
"Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam
turun dan naik bus yang sama."

"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak
Iin, dan Mbak Sumiyati."
"Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah
tahu nomor hp saya?"
"Belum."
"Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?"
"Sudah."
"Ya sudah. Itu cukup."
"Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu."
"Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur
di bus ya," canda Linda.
Zul menjawab dengan senyum lalu beranjak
meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa
tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya,
sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa
mantap. Jika ia bisa menaklukkan Jakarta dan Batam,
maka ia sangat yakin ia pun bisa menaklukkan Kuala
Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat
suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu
tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan
Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung
dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong preman
Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus
bertemu dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak
perlu gentar. Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan
dengan situasi apapun juga.
Dari Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal
KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke
mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi

nama yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah
bertanya kepada seorang lelaki India ia menemukan
telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi dan
masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki
nomplok yang tiada terkira jumlahnya.
"Ini Pak Rusli ya?" tanyanya.
"Iya benar. Ini siape?"
"Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor
Bapak dari Pak Hasan Batam."
"O ya ya. Pak Hasan sehat ya?"
"Alhamdulillah Pak. Bagaimana caranya saya bisa
bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak
banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya
perlu sedikit bantuan Bapak."
"Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu
Saudara. Adik sekarang di mana?"
"Di KL Sentral Pak."
"Begini saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke
Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira
bicarakan segalanya dengan lebih leluasa."
"Apa tadi Pak, KTM ya?"
"Ya KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun
di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut."
"Baik Pak. Terima kasih."
Tidak sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit
untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa
bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak Rusli,
yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar
di Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah
pesantren di Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak
Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera
yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza.
"Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak
Hasan?"
"Iya Pak."
"Itu maknanya adik diminta untuk belajar. Menuntut
ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak
akan bisa melanjutkan studi di sini, kalau tidak dengan
bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau
tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?"
"Iya Pak."
"Jangan kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang
kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan
dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak
membantu. Terutama berkenaan dengan urusan
pendaftaran di kampus. O ya kaubawa ijazah kan?"
"Bawa Pak."
"Dulu kuliah di mana?"
"Di IKIP PGRI Semarang Pak."
"Jurusan apa?"
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak."
"Ya ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk
dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius
lanjut kuliah kan?"
"Iya Pak."
"Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu
untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya."

"Apa itu Pak?"
"Ilmu. Hanya orang-orang berilmulah yang akan
diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak
berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh
Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena
kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki ilmu bagaimana
menjadikan kekayaannya sebagai jalan beribadah dan
menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa
ke rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali
hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu."
"Iya Pak."
Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak.
Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul.
"Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak.
Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?"
"Mmm, aduh bagaimana Pak ya?"
"Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja.
Ayo kita jalan."
"Iya Pak."
"Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil
tersenyum lebar.
Zul langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa
terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli.
Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli yang
low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal
lelaki berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada
tiga jam ia bertemu dengannya.
Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya
masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum

dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan
tinggi tertua di Malaysia itu.
"Universiti ini masuk dalam jajaran 100 perguruan
tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja
kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang
seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang
akan datang." Ujar Pak Rusli menyemangati.
"Doanya Pak."
"Allah memberkati, insya Allah."
Setelah mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak
Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi
Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya
ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan
kampus UM, di sepanjang perjalanan, tepatnya di
samping kiri, Zul melihat rel KTM. Sesekali ia berpapasan
dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh
menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya.
Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh.
Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil
itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih
yang tinggi dan kusam.
"Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia
di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di
an tar a mereka."
Mereka berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah
apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan anak
muda yang gayanya khas Indonesia.
"Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak
Rusli

"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak
muda itu.
"Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. la
baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan.
Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil
memperkenalkan diri,
"Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat
datang di Kuala Lumpur Mas."
"Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul.
"Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" tanya
Sugeng lagi.
"Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA
sering memanggil Zul Einstein."
"Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk
UM?"
"Jika Allah mengijinkan."
"Nanti saya bantu, insya Allah."
"Terima kasih Mas Sugeng."
"Pak Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar
kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si Arif
sama si Yahya," terang Sugeng.
"Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya,"
tukas Pak Rusli renyah.
"Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh
Iho. Bukan lantai sembilan."
"O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering
lupa. Ayo Zul kita jalan."
Pak Rusli dan Zul berjalan melewati samping
apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk
lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai
sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan.
Di pintu flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya
itu ada sriker bendera merah putih. Di bawahnya ada
tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!"
Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah
orang Indonesia dari Jawa.
Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang
pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung
dan kaos putih. Pemuda itu menyambut dengan senyum.
"O Pak Rusli. Silakan Pak."
Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan
diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang.
"Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak
Rusli.
"Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit,
insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah.
"Langsung lanjut Ph.D., Ya?"
"Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak
UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung
lanjut Ph.D. Doanya."
"Allah memudahkan insya Allah."
Akhirnya Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di
Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari
Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu
melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah
itu akan langsung melanjutkan S.3.
206 207
la juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua
kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal di
situ lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak
Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah.
Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu
enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam
ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam
ratus ringgit ditanggung oleh penghuni rumah itu yang
berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang kena
beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka
masing-masing orang kena beban seratus ringgit.
Yahya juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala
Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran
dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di
sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai
tukang bersih-bersih WC di Gedung Putra World Trading
Centre atau biasa disingkat PWTC.
"Apa saja saya lakukan untuk bisa hidup dan
membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen,
tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu sempat
membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya
sementara ini isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja
nanti keadaan membaik. Dan saya bisa membawa isteri
lagi kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D."
jelas Yahya pada Zul.
"Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah.
Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah
di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja
apa pun asal halal dan bisa membuat saya semakin kaya
saya lakukan. Alhamdulillah sekarang saya bisa

membuka usaha bekerjasama dengan orang Malaysia.
Cukup untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai
doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak
Rusli menambahi.
Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang
tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat.
Semua memberi semangat pada Zul. Zul merasa
menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya
bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan
bisa tinggal satu kamar dengannya.
"Tapi kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak
masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang
maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan
wajah cerah.
Tak ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan
tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan temantemannya.
Sore itu ia memutuskan untuk langsung
menginap di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya.
Setelah mantap bahwa Zul tidak akan terlantar, Pak
Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia masih sempat
berkata pada Zul
"Saya akan coba mencari informasi. Jika ada
lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah,
bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah
rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana hamba-Nya
itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan apaapa,
telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul."
"Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."
* * *

Malam itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat
itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah itu.
Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran yang sangat
membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya
di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin
memberikan bantuan semampunya.
Sugeng menawarkan diri untuk membantunya
mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke
Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti
akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya
pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi
Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa.
Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi
kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu,
menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul.
Pak Muslim akan mengadakan penelitian di Sabah
selama tiga minggu. Berarti sepeda motornya bisa dipakai
selama itu.
"Ini masih bulan April. Awal semester bulan Juli.
Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul daf tar
dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh
agar bisa membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya
agak lumayan. Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan
lusa kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk uang
pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu.
Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah
itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.
"Saya ikut saja." Lirih Zul.
"Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"
7 IPS : Institute Postgraduate Studies.

Zul mengangguk dan mengambil tas hitamnya. la
keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas
itu. la berikan map itu pada Sugeng. Sugeng lalu
membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD
sampai S.l ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu
dengan kening berkerut.
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?"
"Iya Mas." Jawab Zul pelan
"Pak Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak
Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar
komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat.
"Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil
membenarkan gagang kaca matanya.
"Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia.
Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa,
jurusan apa, Pak?"
Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik
Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?"
"Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya
mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang
berdiri di samping Sugeng.
"Kalau gitu ya masuk fakultas pendidikan saja.
Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi
pendidikan saja." Sahut Pak Muslim.
"Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" tanya
Sugeng.
"Boleh. Saya sepakat."
Malam itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya
yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa

depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang
baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat
dulu bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. la
tetap bisa lanjut ke SMP meskipun harus dengan bekerja
membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah.
la merasa bahagia saat itu, sebab banyak temantemannya
yang putus sekolah karena tidak ada biaya.
Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja
di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang.
Malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam
keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi
cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun
sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa
takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak
Pakdenya, orang yang merawatnya sejak kecil, meninggal
saat ia masih di bangku kelas 3 SMA. Sejak itu
ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan
berusaha tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan
SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai
juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum juga
mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya
merantau. Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke
Batam. Dan akhirnya ke Malaysia.
Dan malam itu, setelah ia bertemu dengan orangorang
yang berpendidikan dan tulus, ia banyak
mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang
begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut
ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah
di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya
alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang
becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan
terakhir penjaga parkir di Pasar Johar.
Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya
adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa
yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan
beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya
sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia
selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai
beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa kuatir
dan merasa tertekan. Dan malam itu ia mendapatkan
pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang.
Malam itu ia tidur dengan bibir menyungging
senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk
memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali
tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang
Jaya.
Sementara di Subang Jaya sana, Mari berangkat
tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia
merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkan
informasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang
dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada
di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi
pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat pemuda
itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya.
Namun ia kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih
berharap, malam itu Zul akan kembali ke rumah itu.
Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia
menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur
dengan perasaan masygul.
* * *

Dalam Mihrab Cinta


Satu
Siang itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah
Pagu, Kediri, Jawa Timur geger. Pengurus Bagian
Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini
mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri
berambut gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta
ampun.
"Ampun, tolong jangan pukul saya. Saya tidak
mencuri!" Santri yang mukanya sudahberdarah-darah
itu mengiba.

"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!"
Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah
sangat geram.
"Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambut
Gondrong itu tetap tidak mau mengaku.
Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya.
"Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan
yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong
mengaduh lalu pingsan.
* * *

Menjelang Ashar, si Rambut Gondrong siuman. la
dikunci di gudang pesantren yang dijaga beberapa santri.
Kedua tangan dan kakinya terikat. Airmatanya meleleh.
la meratapi nasibnya. Seluruh tubuhnya sakit. la merasa
kematian telah berada di depan mata.
Di luar gudang para santri ramai berkumpul. Mereka
meneriakkan kemarahan dan kegeraman.
"Maling jangan diberi ampun!"
"Hajar saja maling gondrong itu sampai mampus!"
"Wong maling kok ngaku-ngaku santri. Ini kurang
ajar. Tak bisa diampuni!"
la menangis mendengar itu semua. Sepuluh menit
kemudian pintu gudang terbuka. la sangat ketakutan.
Tanpa ia sadari ia kencing di celana karena saking takutnya.
Para santri yang didera kemarahan meluap hendak
menerobos masuk. Tapi Lurah Pondok menahan mereka
dengan sekuat tenaga. Pak Kiai, pengasuh pesantren
masuk dengan wajah dingin. Beliau diikuti empat
pengurus. Satu di antaranya Ketua Bagian Keamanan.
Lampu gudang dinyalakan. Pintu gudang lalu
ditutup oleh Lurah Pondok. Pak Kiai berdiri tepat di
hadapannya. Empat pengurus dan Lurah Pondok
mengambil posisi mengelilingi si Gondrong.
"Ini Pak Kiai pencuri yang selama ini menjarah
barang-barang para santri. Baru tadi siang ditangkap
basah oleh Bagian Keamanan." Ketua Bagian Keamanan
membuka pengadilan.
"Siapa namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah
santri putra ada seribu lima ratus santri, Pak Kiai tidak
hafal nama semua santrinya.
Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul...
Syamsul Hadi, Pak Kiai."
"Nama yang sangat bagus. Benar kamu yang
mencuri?"
Syamsul menggelengkan kepala. Ketua Keamanan
marah,
"Dia,memang orangnya sangat bandel Pak Kiai.
Dia tidak mau mengaku, tapi kami menangkap basah
dia sedang membuka lemari si Burhan di kamar 17
Pak Kiai. Di kamar 17 sudah dua orang kehilangan
uang. Saat itu kamar sepi, kami yang memang
memasang orang di atas eternit melihatnya membuka
lemari Burhan."
"Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak
Kiai pelan.
"Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri."
"Lantas untuk apa?!!" bentak Ketua Bagian Keamanan
garang.

"Karena saya diminta untuk mengambilkan uang
oleh Burhan Pak Kiai." Jawab Syamsul.
"Hmm...Burhan ada?" tanya Pak Kiai sambil
melihat Ketua Bagian Keamanan.
Ada, Pak Kiai."
"Dia tahu kalau si Syamsul tertangkap karena
membuka lemarinya?"
"Tahu Pak Kiai."
Pak Kiai manggut-manggut dan mengerutkan dahi.
"Panggil Burhan kemari!" pinta Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai."
Ketua Bagian Keamanan lalu bergegas keluar.
* * *

Syamsul berharap Burhan mau menjelaskan semuanya.
Namun dalam hati ia bertanya-tanya, Burhan tahu
kalau dirinya tertangkap kenapa tidak menjelaskan
semuanya. Apa karena Burhan takut pada amarah para
santri. Atau...? Ia tidak bisa banyak memprediksi.
Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Ia berharap di hadapan
Pak Kiai, Burhan menjelaskan bahwa ia memang diminta
Burhan mengambilkan uangnya. Dengan penjelasan
Burhan itu ia berharap namanya dibersihkan dan semua
santri yang telah berlaku aniaya padanya diberi
hukuman, paling tidak harus minta maaf.
Burhan datang dengan wajah sedikit pucat. Namun
masih tampak tenang. Ia sama sekali tidak memandang
Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan.
"Burhan ke sini!" pinta Pak Kiai.

Burhan mendekat.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi? Kenapa Syamsul
diadili dan kenapa kau dibawa kemari?" lanjut Pak Kiai.
"Iya Pak Kiai."
"Kau harus jujur. Karena kejujuran mendatangkan
kebaikan. Dan kedustaan mendatangkan petaka.
Syamsul ini mengaku bahwa kau memintanya mengambilkan
uangmu di lemarimu, apa benar?"
Syamsul menunggu jawaban yang akan keluar dari
mulut temannya itu. Ia berharap temannya itu jujur,
mengatakan yang sebenarnya. Dengan suara bergetar
Burhan menjawab, "Ti...tidak benar Pak Kiai!"
Syamsul kaget bagai disambar geledek. Dengan
penuh amarah dia berteriak,
"Teganya kau Bur... Kau santri atau bajingan?!
Dancok kau Bur!"
"Diam kau maling! Kau yang jelas bajingan bukan
Burhan!" bentak Bagian Keamanan.
"Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak
Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta
saya mengambilkan uangnya untuk beli baju dan
mentraktir saya. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa
saya jika saya berdusta!" Syamsul bersumpah dengan
suara lantang. Kedua matanya menyala seperti mata
elang.
Pak Kiai agak kaget. Beliau langsung memandang
Burhan,
"Burhan karena Syamsul sudah berani bersumpah.
Kau harus berani juga bersumpah bahwa apa yang

kaukatakan benar. Jika tidak maka kau bersalah. Kau
akan dapat hukuman atas kedustaanmu. Sebab
kedustaanmu itu telah mencelakakan orang lain."
Dengan tenang Burhan menjawab, "Penjahat akan
melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak
Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja
saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga
segala laknat Allah menimpa saya."
Saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan
mengatakan yang dimaksud dengan kata-katanya
"bahwa yang baru saja saya katakan benar" adalah
perkataannya "penjahat akan melakukan apa saja untuk
menutupi kejahatannya" bukan yang lain. Tak ada yang
tahu hal itu kecuali Burhan. Syamsul meneteskan
airmata. Hatinya sangat sakit. Rasa sakit hatinya melebihi
seluruh sakit di sekujur tubuhnya yang berdarah-darah.
"Baiklah, semuanya lebih jelas. Untuk memutuskan
siapa yang sesungguhnya harus dihukum, silakan
pengurus bermusyawarah. Dan sekalian tentukan
hukuman yang paling bijak." Kata Pak Kiai sambil
memandang wajah para pengurus. Lalu beliau pergi.
Setelah Pak Kiai pergi, Syamsul berteriak-teriak
marah. Andai kedua tangan dan kakinya tidak diikat
tentu ia akan mengamuk.
"Burhan, kaulah bajingan paling jahat! Kau tega
memfitnah temanmu! Ingat Burhan, Allah tidak tuli! Allah
tidak tidur!"
Burhan menjawab tenang sambil memandang ke
Lurah Pondok, "Penjahat ulung itu bisa berakting yang
canggih!"
Burhan lalu pergi. Para pengurus juga meninggalkan
gudang. Mereka menuju kantor untuk rapat. Akhirnya
diputuskan, Syamsul dihukum gundul dan kemudian
dikeluarkan dari pesantren.
Pengurus bergerak cepat. Lurah Pondok menelpon
ayah Syamsul, seorang pengusaha batik sukses di
Pekalongan. Yang lain menyiapkan acara eksekusi
penggundulan. Keputusan rapat pengurus itu ditulis
resmi. Diketik rapi. Ditandatangani oleh Lurah Pondok,
Sekretaris Pondok, Ketua Bagian Keamanan, dan
Pengasuh Pondok Pesantren.
Sore itu juga Syamsul diambil dari gudang. Di
halaman pondok telah disiapkan kursi yang diletakkan
di tengah garis melingkar. Syamsul digiring dan
didudukkan di kursi itu. Para santri menyaksikan
eksekusi penggundulan itu dari luar garis. Bagian
Keamanan membacakan hasil keputusan:
"...dengan ini diputuskan bahwa Saudara Syamsul
Hadi terbukti bersalah melakukan kejahatan pencurian
yang dilarang agama dan melanggar tata tertib pesantren.
Karenanya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari
pesantren, dengan sebelumnya dihukum takzir yaitu
digundul untuk dijadikan pelajaran bagi santri yang lain."
Para santri bersorak sorai. Kata-kata sumpah serapah
keluar menghujat Syamsul. Syamsul benar-benar sangat
terpukul. Ketika gunting bagian keamanan mulai
mencowel-cowel rambut kepalanya ia menangis. Sepuluh
menit kemudian eksekusi itu selesai. Syamsul dibawa lagi
ke dalam gudang. Dua orang pengurus membawa
seember air dan menyuruhnya mandi. Ikatan di tangan

dan di kakinya dilepas. Semua barang Syamsul telah
dikemas rapi dan diletakkan di gudang.
Jam sebelas malam orangtua Syamsul datang. Pak
Kiai menemui di ruang tamu pesantren. Syamsul berikut
barang-barangnya dihadirkan. Pak Kiai dan Lurah
Pondok menjelaskan semuanya.
"Maafkan kami, Pak. Inilah tata tertib yang telah kita
sepakati bersama. Syamsul terbukti mencuri maka harus
dikeluarkan." Kata Lurah Pondok santun.
"Kita mengenal wejangan orangtua kita dulu, jika
ada satu rayap di kapal maka harus segera dibuang. Kalau
tidak rayap itu bisa menjadi banyak, menggerogoti kapal
dan bisa menenggelamkan kapal serta membinasakan
seluruh penumpangnya. Itulah yang saat ini kami
lakukan. Rayap itu harus dibuang..." Ketua Bagian
Keamanan menimpal.
"Saya berharap, ini jadi pelajaran bagi Syamsul. Dan
setelah ini Syamsul berubah. Saya melihat Syamsul ini
punya potensi untuk baik dan maju." Kata Pak Kiai
bijaksana.
Ayah Syamsul, Pak Bambang, sangat malu dan
marah. Di ruang itu juga ia menampar anaknya berkalikali,
"Anak tak tahu diri! Apa masih kurang Papa
memberimu uang saku dan lain sebagainya. Kurang
uang tinggal minta, kenapa malah maling!"
Plak! Plak! Plak!
Syamsul meringis. Ia diam saja. Ia merasa tak ada
gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuanya jika
sampai di rumah nanti. Namanya memang telah rusak.

Ia benar-benar hancur di pesantren itu. Tapi ia berharap
tidak hancur di tempat lain.
Sebelum ia meninggalkan ruangan itu ia tegakkan
kepala dan berkata setenang mungkin, "Pak Kiai,
Panjenengan sudah melakukan tindakan zalim dengan
memperlakukan saya seperti ini. Panjenengan belum
melakukan tabayun yang sesungguhnya. Dan kalian
para pengurus yang memutuskan hukuman untuk saya
dengan semena-mena, dengar baik-baik, kalian telah
melakukan dosa besar! Kesalahan besar! Ini hak adami.
Suatu saat kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa
yang salah. Kalian akan tahu kelak siapa sebenarnya
rayap itu. Dan aku tidak akan memaafkan dosa kalian
semua kecuali kalian mencium telapak kakiku!"
Mendengar hal itu Ketua Bagian Keamanan hanya
geleng-geleng kepala. Pak Kiai tersentak, ada keraguan
berbalut kekuatiran menyusup dalam hatinya, namun
diam saja.
* * *

Sampai di rumah ia ternyata juga menemukan hal
yang sama. Ia menegaskan bahwa ia terfitnah. Ia tidak
pernah mencuri di pesantren. Namun penjelasannya itu
tidak bisa diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Kemarahan ayahnya juga tidak reda. Kedua kakak dan
ibunya lebih percaya pada keputusan pesantren.
"Sudah lebih baik kau mengakui dosamu itu dan
bertaubat. Sesali perbuatanmu itu dan jangan keras
kepala!" Kakak sulungnya yang sudah punya dua anak
itu marah.

Hanya adiknya, Nadia, yang tidak berkomentar.
Nadia lebih merasa iba pada kondisi kakaknya.
"Apa tidak sebaiknya dibawa ke dokter untuk
diobatkan Ma. Kasihan Kak Syamsul." Kata Nadia.
Pak Bambang langsung menyahut garang, "Kita
tidak perlu kasihan sama maling. Biar dia rasakan akibat
kejahatannya!"
Tak ada yang berani membantah. Bu Bambang
masih tampak marah. Rasa marahnya saat itu mengalahkan
rasa kasihan pada anaknya itu.
Syamsul istirahat di kamarnya dengan mata
berkaca-kaca. Jika keluarga sudah tidak lagi percaya
padanya. Apalah arti hidup di dunia ini.
Nadia masuk ke kamarnya membawa peralatan
P3K. la bersihkan luka-luka kakaknya dengan air
mineral, lalu dengan rivanol. Setelah itu ia oleskan
Betadine.
"Apakah kau juga tidak percaya bahwa aku tidak
mencuri, Nadia?" Tanya Syamsul.
Nadia diam. Tidak menjawab.
"Jawab Nadia, aku butuh seseorang yang menguatkan
aku. Aku bisa gila!" Seru Syamsul serak.
"Sudahlah, Kak. Jangan bahas itu lagi. Yang penting
kakak sembuh dulu. Nadia akan rawat kakak. Kakak
jangan kecil hati, selama Allah bersama kakak, maka
kakak jangan takut bahwa semua manusia memusuhi
kakak."
"Jadi kau percaya bahwa bukan aku pencurinya?
Kau percaya penjelasanku, Nadia."

"Itu tidak penting, Kak. Saya ingin kakak berubah
lebih baik. Dan Nadia akan selalu menganggap Kak
Syamsul adalah kakak Nadia."
Syamsul kecewa. Nadia pun tidak juga mempercayainya.

Nadia membaca surat dari kakaknya itu dengan
airmata bercucuran. la langsung berteriak-teriak
memanggil Mamanya. Sang Mama datang tergopohgopoh,
begitu membaca surat itu rasa keibuannya terbit.
la pun menangis. Namun Sang Ayah dan kedua kakak
Nadia malah geram dan marah.
"Kita harus cari Syamsul, Pa. Kelihatannya dia
memang tidak bersalah. Kita harus berdiri bersama anak
kita, Pa." Kata Bu Bambang.
"Iya, Pa. Kita bisa minta polisi mengusut kasus di
pesantren itu. Kalau Kak Syamsul tidak bersalah kan
berarti dia dianiaya." Tambah Nadia.

"Kalian ini, dasar perempuan, baru membaca surat
gombal kayak gitu saja berubah. Itu hanya akting si
Syamsul. Aku sudah tidak percaya lagi sama anak
brengsek itu!" Jawab Pak Bambang marah.
"Kita lihat saja dulu perkembangannya. Paling dua
hari lagi Syamsul juga pulang." Sahut kakak pertama.
"Iya Syamsul telah memilih jalannya. Dia sudah
dewasa. Sudah lulus SMA. Biarkan ini semua jadi
pembelajaran baginya." Imbuh kakak kedua.
Jika sudah demikian Bu Bambang dan Nadia tidak
bisa berbuat apa-apa. Hanya saja dalam hati Bu
Bambang berdoa semoga Syamsul anaknya baik-baik
saja, dan mau pulang kembali.
* * *

Sudah satu minggu Syamsul pergi. la mengelana di
Kota Semarang. Tidur dari masjid ke masjid. Makan
seadanya. Dengan berbekal ijazah SMA ia melamar
pekerjaan dari kantor ke kantor, pabrik ke pabrik, tapi
belum juga diterima. Sebab semua pabrik mensyaratkan
ada keterangan surat kelakuan baik dari kelurahan.
Berarti ia harus pulang. Dan itu yang tidak mau ia
lakukan.
Ia sudah berusaha mencari kerja, tapi tak juga dapat.
Akhirnya timbul dalam pikirannya, mungkin jalannya
untuk makan adalah dengan mencuri, mencopet dan
menjambret. Ia masih maju mundur melakukan hal itu.
Akhirnya ia nekat. Ia naik bus mini warna kuning jurusan
Mangkang-Penggaron. Sampai di Jrakah ia melakukan
aksi perdananya. Mencopet.

Dan.. .naas!
Korbannya waspada. la ketahuan. la langsung
lompat dari bus. Bus berhenti. Semua orang berterikteriak,
"Copet, copet!" Orang yang mendengar hal itu
langsung berlarian mengejarnya. la lari ke arah Ngaliyan.
Terus berlari. Sampai dekatkampus dua IAIN Walisongo,
ia tertangkap. la babak belur dihakimi massa. Untung
ada patroli polisi. Nyawanya diselamatkan oleh polisi.
Berita tertangkapnya dirinya di Ngaliyan masuk
koran terkemuka di Jawa Tengah, Suara Mahardika. Juga
masuk berita televisi. Untung ia tidak bawa KTP. KTP
dan semua barangnya ia titipkan pada seorang takmir
masjid tua di dekat Pasar Bulu. Ia mengaku bernama
Burhan. Dari Jakarta.
Keluarganya di Pekalongan membaca isi koran dan
melihat berita itu. Mereka tersentak. Bu Bambang
menangis, "Ia benar-benar jadi pencuri!"
Pak Bambang dan kedua kakaknya mengatakan,
"Sudahlah ia kita ikhlaskan. Untung dia memakai nama
samaran, jadi tidak mencemarkan nama keluarga."
Hanya Nadia yang tidak percaya.
"Saya yakin copet itu bukan Kak Syamsul. Itu orang
lain yang mirip Kak Syamsul," kata Nadia.
"Kamu itu masih bau kencur. Tahu apa masalah
dunia kriminal, Nadia!" Sengit kakak kedua.
Nadia tidak bisa menjawab. Dalam hati ia ingin
membuktikan bahwa anggapannya benar.
* * *

Sejak itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang
Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapida yang
tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua narapidana
itu mengajaknya untuk bergabung dalam
komplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut
jadi bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik
mencuri sepeda motor yang canggih. Juga trik-trik
mencuri rumah orang kaya.
"Di daerah Papandayan dan Candi, Semarang atas,
banyak rumah mewah. Jika kita berhasil menggasak satu

Dua
rumah saja. Kita bisa kaya mendadak." Kata napi
berkumis tebal.
Ia lalu diberi tahu peta daerah-daerah strategis untuk
beroperasi. Ia masihbimbangbagaimana meneruskan
hidup. Ia teringat cita-citanya. Ingin jadi mubaligh
ternama sekaligus pengusaha Muslim yang berhasil.
Maka setelah lulus SMA ia minta masuk pesantren sambil
kuliah. Ia memilih pesantren di Kediri. Waktu di SMA
memang ia agak nakal. Tapi dalam hati terkecil, citacitanya
adalah jadi mubaligh.
Dan kejadian di pesantren itu mengubah segalanya.
Ia teringat Burhan. Anak pengusaha dari Jakarta itulah
sumber petakanya. Ia dijebak Burhan, saat pesantren
sedang panas oleh kejadian beberapa pencurian. Uang
santri hilang. Ia jadi kambing hitam. Dan kini ia benarbenar
mendekam jadi pencuri.
Sudah satu minggu ia dipenjara. Ia mulai bosan.
Napi berkumis tebal berkata padanya,
"Kau tenang saja Bur. Minggu depan bos kami akan
datang. Dia akan menebus kami. Kau akan kami
usahakan ikut ditebus. Tapi konsekuensinya, kau harus
ikut memperkuat kami."
Ia mengangguk. Jika itu benar-benar terjadi, ia
memang benar-benar akan masuk di dunia hitam. Ia
berdoa semoga ada mukjizat yang mengeluarkannya
dari penjara. Tapi ia tidak bisa mengelak dari kejahatannya
mencopet. Ia diputuskan mendekam di sel selama
enam bulan. Satu bulan pertama ia akan menjalaninya
di Polsek Tugu. Dan ada kemungkinan dipindah ke
Penjara Kedungpane.

Siang itu ia baru saja menyantap jatahnya makan
siang. Seorang polisi datang dan membawanya keluar.
Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab. Hatinya
berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam
hatinya. Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini
adiknya tahu ia benar-benar seorang kriminil.
"Nadia!" Serunya pada adiknya.
Nadia menoleh ke arahnya. Kaget. Tidak percaya.
"Kau.. .kaubukanKakSs.. .s..." Nadia gagap tidak
percaya.
"Tenang. Aku kakakmu, Nadia."
Nadia menggeleng-gelengkan kepala dan menangis.
"Tidak.. .tidak.. .tidak, Kak!"
"Tenang Nadia, beri kesempatan aku bercerita. Mari
kitabicara dengan tenang."
Nadia duduk tenang. Airmatanya bercucuran.
"Kau sendirian, Nadia?"
Nadia mengangguk.
"Keluarga semua baik?"
Nadia kembali mengangguk.
"Apa mereka sudah tahu aku disel?"
"Begitu membaca koran Suara Mahardika dan
menonton berita di televisi mereka semua yakin yang
tertangkap adalah kakak, meskipun memakai nama
Burhan. Hanya aku yang tidak percaya, maka aku
kemari. Ternyata dugaanku salah. Kakak memang
seorang penjahat!"
Syamsul menangis.

"Maafkan aku Nadia. Demi Allah ini yang pertama
kali aku lakukan. Dan aku berharap yang terakhir
kalinya." Syamsul lalu menjelaskan perjalanan hidupnya
sejak pergi dari rumah sampai kehabisan uang. Dan
kejadian di Ngaliyan itu.
"Tolonglah aku, Adikku."
Nadia diam. Rasa kasihannya keluar setelah
mendengar cerita kakaknya.
"Hanya kau yang kuharapkan, Adikku.Tolonglah!"
"Bagaimana aku bisa menolongmu Kak?"
"Tebuslah aku biar aku bisa keluar dari sini."
"Berapa Kak?"
"Kau bawa kartu ATM?"
"Iya."
"Isinya berapa?"
"Tiga juta."
"Baik. Biar aku negosiasi dengan polisi dulu. Baru
kauambil uang di ATM ya."
"Baik Kak."
la lalu bernegosiasi dengan polisi. Karena ia sudah
belajar cara negosiasi dengan polisi, maka urusannya
mudah. Apalagi ia menyebut seorang nama yang ia
dapat dari kedua napi itu. Nama itu dikenal sebagai
beking para kriminal. Akhirnya ia bisa keluar dari penjara
dengan menebus cuma duajuta lima ratus.
Ia berterima kasih kepada adiknya. Dan ketika
adiknya mengajaknya pulang, ia tidak mau.
"Mereka pasti sudah tidak sudi melihat mukaku."

"Tenang, Kak. Mereka akan Nadia yakinkan bahwa
yang dipenjara itu bukan kakak. Tapi Burhan. Orang
yang mirip kakak. Mereka kan tidak tahu kalau kakak
sudahbebas. Kakak bilang saja tidak pernah dipenjara.
Nadia tidak akan membocorkan hal ini pada mereka.
la tetap tidak mau. Nadia memberinya uang lima
ratus ribu, lalu kembali ke Pekalongan dengan perasaan
sedih. Syamsulberharap akan menemukan cahaya yang
terang dalam hidupnya.

Syamsul merasa tidak bisa bertahan di Semarang.
la ingin mengadu nasib yang lebih baik di tempat lain.
Maka dengan bus ekonomi ia nekat pergi ke Jakarta
setelah mengambil barang-barangnya di masjid dekat
PasarBulu.
Sampai di Jakarta ia tak tahu harus berbuat apa. Ia
tiba di Lebak Bulus pagi buta. Bingung mau ke mana.
Setelah shalat Subuh ia berjalan-jalan di terminal melihatlihat.
Ia merasa karena terlanjur nekat maka ia harus
nekat. Akhirnya ia nekat naik angkot jurusan Parung. Ia
ingin mencari masjid. Ia ingin tinggal di masjid.
Sampai di Parung ia turun, lalu berjalan kaki mencari
masjid. Bertemu dengan sebuah masjid ia utarakan
keinginannya untuk tinggal.
"Mungkin saya bisa bantu-bantu menjaga dan
membersihkan masjid. Kebetulan saya dulu dari
pesantren." Katanya pada orang yang ada di masjid.
"Maaf Dik, kebetulan sudah ada yang tinggal di sini.
Dua orang malah. Juga dari pesantren. Sekarang sedang
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Maaf kami tidak
nambah orang."
la kecewa. Berkali-kali ia temukan masjid. la
utarakan niatnya. Dan jawabannya mirip: tidak
menerima tambahan orang. Di masjid yang terakhir, saat
itu menjelang Ashar, dan dia sangat kelelahan, takmir
masjid menyarankan agar dia mengontrak rumah saja.
"Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal di
masjid. Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau
kami perlu bantuan, Adik, kami bisa panggil Adik. Kalau
tinggal di masjid tidak bisa. Kamarnya cuma satu dan
telah ditempati Pak Ali, imam masjid ini, bersama isteri
dan anaknya. Gimana Dik? Nanti saya bantu cari yang
murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?"
Pada bapak yang halus budi itu, ia tidak berani
berdusta,
"Nama saya Syamsul Pak."
"Ya jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Oh ya nama
saya Abbas. Panggil saja Pak Abbas. Kebetulan saya
Ketua RT 2 di perumahan ini."
Akhirnya ia ikut saran Bapak itu. Ia mendapatkan
rumah satu kamar. Sewa per tahunnya dua juta. Ia
menggigitbibir.
"Saya cuma punya empat ratus ribu, Pak."
"Baik. Pemilik rumah ini mengatakan katanya bisa
dicicil empat kali. Sekali cicil berarti lima ratus ribu. Kamu
ada empat ratus, bagaimana kalau yang seratus ribu saya
usahakan. Adik bisa bayar kapan saja adik ada. Tapi
cicilan selanjutnya adik usaha sendiri."

"Saya pinjam tiga ratus ya Pak. Biar saya ada
pegangan bulan ini."
"Oboleh."
Jadilah ia menyewa rumah. Sejak hari itu ia tinggal
di sebuah perumahan tak jauh dari Parung. Ia mulai kenal
dengan masyarakat. Namun sudah satu bulan ia belum
juga dapat kerjaan. Uang pegangannya tinggal lima kali
makan. Ia bingung. Ia hams berbuat apa. Cicilan rumah
bulan depan juga belum ada. Akhirnya ia berkata pada
diri sendiri, "Aku haras nekat. Minta belas kasihan orang
itu mental pecundang!"
Hari itu ia naik anggot ke Lebak Bulus. Lalu naik
Kopaja yang sesak penumpang. Ia nekat mengamalkan
'ilmu' yang didapat dari dua napi saat ia dipenjara.
Berhasil! Seorang cewekberambutkeriting jadi korban.
Ia lalu beroperasi di bus yang lain. Berhasil! Seorang ibuibu
setengah baya berpakaian modis jadi korban.
"Kalau mencopet jangan terlalu tamak. Sehari dapat
dua itu bagus. Yang ketiga dan keempat biasanya hilang
konsentrasi." Ia teringat kata-kata napi berkumis tebal.
Ia merasa harus pulang. Sampai di kontrakan ia Wrung
hasil jarahannya.
Dari dompet cewek keriting cuma lima puluh ribu.
Tapi ada kartu ATM-nya. Dari dompet ibu-ibu setengah
baya modis, lumayan, enam ratus ribu. Semuanya
serarus ribuan, enam. Ada KTP dan SIM-nya. Ia ambil
uang itu, ia masukkan ke dalam dompetnya. Sementara
dompet korbannya ia simpan di laci almari.
Meskipun diliputi rasa berdosa ia merasa lebih
tenang. Malam harinya ia pergi ke pemilik rumah nyicil

kontrakan. Hari berikutnya ia melakukan hal yang sama.
Dapat cuma satu korban. Ia pulang. Ia tak mau ambil
risiko. Korbannya kali ini seorang cewek berjilbab modis,
kelihatannya mahasiswi. Ya, mahasiswi setelah ia lihat
ada kartu mahasiswanya. Cantik juga, katanya dalam
hati ketika melihat fotonya. Ada foto yang lain. Foto
mahasiswi itu dengan seorang pria. Mungkin pacarnya,
gumamnya. Ia terkesiap.
"Tunggu, agaknya aku kenal dengan lelaki ini."
Katanya. Ia amati dengan seksama, "Benar. Ini si Bajingan
Burhan itu. 0 jadi ini pacar atau calon isterinya yang
lain." Ia semakin yakin ketika membaca tulisan di balik
foto berukuran 6x8 itu.
"Silvie bersama Mas Burhan di Sby."
Ia tersenyum. Ia penasaran. Ia lihat KTP cewek itu.
"Ini saatnya perhitunganku berlaku." Ia ingat Burhan
sudah serius dengan Dalmayanti, santriwati dari
Tulungagung. Putri seorang kepala KUA. "Burhan ini
benar-benar buaya! Tidak bisa dibiarkan!"
Setelah mengambil uang dan KTP dari dompet
korbannya ia melangkah keluar sambil menenteng tas
ranselnya. Sekalian shalat Ashar ia hendak pinjam
kendaraan pada Pak Abbas. Ia ingin mencari alamat yang
ada di KTP itu yang kelihatannya tidak jauh dari tempat
ia tinggal. Cewek itu ringgal di Villa Gratia, Parung bagian
timur. Sementara dirinya ada di Parung bagian barat.
Bakda Ashar ia meluncur dengan sepeda motor Pak
Abbas. Tak lama ia temukan Villa Gratia itu. Perumahan
elite. Pintu masuknya dijaga satpam. Ia tak jadi masuk.
Ia terus saja jalan. Ia harus berpenampilan yang tidak

mencurigakan. Ia teringat di ranselnya ada kopiah putih
yang biasa ia pakai kalau shalat. Ia pakai kopiah itu baru
pakai helm. Ia lihat alamat rumah cewek itu. Jl.
Flamboyan 19. Ia tersenyum. Ia sudah mantap menghadapi
satpam. Ia kembali ke Villa Gratia.
Ketika mau masuk satpam menghentikannya. Ia
lepas helmnya, sehingga tampak ia pakai kopiah.
Seketika satpam bersikap lebih ramah.
"Mau ke mana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?" tanya
satpam itu.
Ia tersenyum dalam hati. "Baru pakai kopiah saja
langsung dipanggil ustadz. Wah boleh juga ini, aku
ternyata bakat jadi ustadz juga." Batinnya.
"Mm. Saya mau ke Flamboyan 17." Jawabnya
mantap. Sengaja ia tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat
pada nasihat napi berkumis tebal, "Jangan pernah
mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada siapapun
saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab
pertanyaan."
"O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si Kecil Dela itu
sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat
ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Kata
satpam itu.
"Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang
mencari guru ngaji bisa bilang saya ya." Ia tersenyum.
"Ya, insya Allah, Ustadz, tapi komisinynya, Ustadz."
"Beres, Pak."
Ia lalu masuk dengan tenang. Rumah-rumah di
perumahan itu mewah semua. Seperti istana. Ia masuk

Jalan Flamboyan. Rumah bernomor 19, luar biasa besar.
Dalam hati ia berkata, "Si Burhan bajingan itu beruntung
punya mertua tajir begird." Ia lalu mencari masjid.
Ketemu masjidnya juga mewah dan bagus. Ia teringat
kata-kata satpam tadi, "Jadi si Kecil Dela itu sudah mau
ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz,
padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Ia tersenyum.
Ia berharap Pak Broto belum menemukan guru
ngaji. Ia merasa harus nekat. "Mau nyopet aja perlu
nekat, masak mau ngajar ngaji tidak nekat. Tak ada
salahnya tho copet ngajar ngaji biar dosanya terhapus
dikit-dikit." Batinnya dalam hati.
Lalu dengan mantap ia memarkir sepeda motornya
di depan rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencetbel.
Seorang pembantu wanita agak tua membuka pintu.
"Oh, Pak Ustadz. Mau ketemu siapa?"
"Pak Broto ada, Bu?"
"Ada. Silakan masuk Pak Ustadz."
Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki
gemuk bersarung dan berbaju koko keluar.
"Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya Pak
Ustadz?" Pak Broto merasa kenal.
"Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto.
Gini Pak Broto langsung saja, ada yang memberitahu
saya, katanya Pak Broto perlu guru pri vat ngaji untuk si
Kecil Delia. Apa betul?" Syamsul menjawab dengan
sangat tenang.
"Benar Pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji
yang datang tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia

tidak ada background pesantrennya. Saya ingin guru
ngaji yang pemah belajar di pesantren."
"Kebetulan saya dulu pernah nyantri di Kediri. Asli
saya dari Pekalongan Pak Broto. Sekarang saya tinggal
di perumahan di Parung bagian barat."
"O ya...ya...ya. Alhamdulillah kalau begitu.
Semoga si Delia mau. Sekarang tinggal Della-nya mi. Oh
ya nama Pak Ustadz siapa ya? Saya lupa?"
Syamsul ingin tertawa. Belum pernah bertemu tapi
merasa sudah kenal. Kadang orang kaya itu aneh.
"Nama saya Syamsul, Pak Broto."
"O ya..ya...ya. Saya panggilkan Delia dulu. Biar
segera clear urusannya."
Pak Broto lalu masuk memanggil-manggil anaknya.
Tak lama, ia kembali keluar bersama anak putri berumur
enam tahun.
"Ini Dik Delia ya?" sapa Syamsul dengan ramah.
"Iya." Jawab Delia acuh tak acuh.
"Kenalkan nama kakak Syamsul, panggil Kak
Syamsul."
"Kak Syamsul mau jadi ustadz Delia ngaji ya?"
"Iya. Itu jika Delia mau berteman dengan Kak
Syamsul."
"Kak Syamsul bisa nyanyi nggak. Soalnya Delia
inginnya tuh ustadz Delia juga yang pinter nyanyi."
"Uda Delia ingin, Kak Syamsul nyanyi apa?"
"Coba Kak Syamsul nyanyi lagu daerah dari
Kalimantan!"

"Wah kalau itu mah kecil. Nih dengerin baik-baik
ya Delia:
Ampar-ampar pisang pisangku belum masak.
Masak bigi dihubung bari-bari.
Mangga lepak mangga lepak
Patah kayu bengkok..
Syamsul lalu menyanyi dengan semangat. Delia lalu
ikut bernyanyi. Begitu lagu selesai, Delia langsung
berkata pada ayahnya,
"Saya mau ayah. Kak Syamsul pinter."
Pak Broto tersenyum, "Ya sudah kalau begitu. Ayah
mau bicara sama Kak Syamsul dulu ya. Kamu masuk
sana!"
Delia lalu masuk dengan berlari dan berteriak, "Hore
aku puny a ustadz pinter nyanyi...!"
"Alhamdulillah Pak Ustadz. Seperti yang Ustadz
dengar sendiri. Delia mau. Terus kontrak kita bagaimana?"
"Saya ikut aturan bapak saja. Saya tidak meragukan
profesionalitas Pak Broto."
Kening Pak Broto berkerut.
"Hmm baiklah. Saya samakan dengan privat
pianonya Delia saja ya Ustadz?"
"Saya ikut. Tolong dijelaskan detilnya."
"Satu minggu empat kali pertemuan. Satu pertemuan
satu setengah jam. Sehingga satu minggu ada enam jam.
Satu jamnya saya hargai seratus ribu. Jadi satu minggu

enam ratus ribu. Dan satu bulannya dua juta empat ratus
ribu. Kalau ada jam tambahan maka harga per jamnya
seratus ribu. Begitu Ustadz, bagaimana?"
"Sepakat."
"Terus pengaturan jamnya bagaimana, Ustadz?"
"Begini saja. Pak Broto saja yang bikin dengan
melihat jam kegiatan Delia. Insya Allah habis ini saya ke
masjid. Saya shalat Maghrib di masjid perumahan ini,
Insya Allah. Setelah shalat kita bicarakan di masjid
iadwalnya. Bagaimana Pak?"
"Baik Pak Ustadz. Baik."
"Kalau begitu saya pamit dulu."
Syamsul meninggalkan rumah itu dan pergi ke
masjid. Sambil menunggu ia berbincang-bincang dengan
penjaga masjid. Ia banyak mendapatkan info yang
berharga. Termasuk tentang penghuni rumah no.19 Jalan
Flamboyan. Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi
UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya seorang pengusaha di
bidang travel dan pariwisata. Namanya Pak Heru.
"Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya di
perumahan ini. Ia punya travel yang sudah punya
cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Cabang
travel-nya juga ada di Singapura, Malaysia dan Arab
Saudi." Begitulah penjaga masjid itu menerangkan.
"Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu
masjid sedikit. Masihbagusan Pak Broto yang tak pernah
hitungan kalau membantu."
Waktu Maghrib tiba. Jamaah berdatangan.
Penjaga itu yang azan dan iqamat. Saat shalat mau

didirikan penjaga masjid itu mempersilakan Syamsul
jadi imam. Syamsul ragu dan tidak mau. Tapi Pak Broto
yang sudah hadir memaksanya agar ia mau. Akhirnya
ia pun jadi imam. Dalam hati ia beristighfar sebelum
maju dan berkata, "Ya Rabbi apakah kau mau
menerima shalat hamba-hamba-Mu yang diimami
seorang pencopet?"
Ia shalat dengan membaca surat-surat pendek.
Bacaannya tartil. Satu tahun di pesantren cukup baginya
untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Usai
shalat ia berbincang-bincang dengan Pak Broto.
Kesepakatan-kesepakatan ten tang hari dan jam dengan
cepat tercapai. Di tengah asyiknya berbincang, Pak Heru
ikut nimbrung. Pak Heru bercerita tentang musibah yang
menimpa putrinya semata wayang,
"Sekali ini dia naik bus kota langsung kecopetan.
SIM, STNK, KTP, Kartu Mahasiswa hilang. Untung pas
tidak bawa ATM. Ia juga kehilangan empat ratus ribu."
Pak Broto diam mendengarkan. Demikian juga
Syamsul. Dalam hati Syamsul berkata, "Pak, si Copet
yang mencopet putri Bapak ada di depan Bapak."
Seorang jamaah yang mendengar dari kejauhan
mendekat sambil berkata, "Mungkin karena kurang
zakat kali, Pak."
"Masak? Kan tiap tahun harta saya sudah saya zakati
2,5 persen."
"Mungkin yang kurang infak shadaqahnya. Shadaqah
kan tolak balak. Bener nggak, Ustadz?"
Syamsul mengangguk.

Pak Heru terdiam. Syamsul harus minta diri pulang.
Sebab ia pinjam kendaraan Pak Abbas hanya sampai jam
delapan malam. Dalam perjalanan ia berniat untuk
taubat dan jadi manusia baik sungguhan.
115
Sejak itu Syamsul mulai menata hidupnya. la merasa
jika gaji privat ngajinya cukup, maka tidak perlu lagi
mencopet. Dan ia berjanji dalam hati akan mengembalikan
dompet korban-korbannya ke alamatnya
masing-masing.
Seminggu empat kali ia mengajar Delia. Dan agar
tidak mengecewakan kala mengajar, ia pergi ke toko buku
untuk membeli beberapa buku cerita anak Islami.
Dongeng-dongeng anak. Buku-buku permainan anak.
Juga psikologi anak. Syamsul berusaha sebisa mungkin

Tiga
eBook by MR.
menjadikan Delia keranjingan mengaji. Tempat ngajinya
tidak melulu di ruang belajar Delia. Kadang di taman.
Kadang di masjid. Bahkan terkadang ia ajak jalan pakai
kendaraan dan mencari daerah yang enak untuk mengaji.
Pak Broto senang sekali dengan kemajuan putri
bungsunya itu.
Dari mulut Delia, Syamsul banyak tahu tentang
Silvie. Sebab Delia diajar matematika oleh Silvie. Dan
akhirnya Silvie pun kenal Syamsul. Selain mengajar
Delia, Syamsul mulai mendapat tawaran mengajar anak
yang lain. Ia merasa bisa hidup mandiri dari uang yang
halal. Saat ia merasa ada uang lebih ia langsung
menabung. Dan untuk menambah ilmu serta menguatkan
statusnya, Syamsul masuk kuliah di Institut Ilmu
Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dengan begitu statusnya adalah
mahasiswa. Ia juga berani kredit kendaraan. Karena tanpa
kendaraan ia tidak bisa ke mana-mana.
Suatu ketika selesai mengajar Delia ia bertemu Pak
Heru di masjid. Ayah Silvie itu mengajaknya berbincangbincang.
"O jadi Ustadz Syamsul kenal dengan Burhan
Faishal yang sekarang masih di Pesantren Al Furqon?
Burhan itu calon menantu saya. Dia putra Pak Anwar
pemilik percetakan besar di Pasar Rebo lho nak."
"O ya Pak. Saya kenal sekali dengan dia. Kebetulan
saya dan dia satu pesantren. Tapi benar, Burhan itu calon
menantu Bapak?"
"Benar Ustadz. Malah Nak Burhan sendiri sudah
melamar Silvie."

"Sama keluarganya Pak?"
"Ya baru bicara bilateral dengan saya. Belum dengan
orangtuanya. Tapi dia sudah kasih cincin sama Silvie."
"Agak aneh, yang Bapak maksud Burhan yang ada
tahi lalatnya di jfdatnya?"
"Iya benar."
"Aneh."
"Aneh apa Ustadz?"
"Saya akan memberikan informasi penting. Tapi
Bapak mau bersumpah untuk tidak memberitahukan
jatidiri saya kepada Burhan Pak? Ini demi kebaikan
keluarga Bapak dan keluarga Burhan?"
"Info apa Ustadz?"
"Info penting. Kalau Bapak tidak mau bersumpah
tidak akan saya beritahu."
Pak Heru penasaran. Akhirnya ia mau bersumpah
menuruti syarat Syamsul.
"Baik Pak. Tolong dengar baik-baik. Burhan
memang santri yang cerdas. Tapi menurut saya tidak
cocok, maaf, jadi menantu Bapak. Kasihan Silvie
nantinya."
"Kenapa bisa begitu Ustadz? Ustadz jangan lancang
ya!"
"Sabar dulu Pak. Tunggu saya selesai berbicara.
Setahu saya Burhan Faishal itu sudah serius bertunangan
dengan seorang santriwati namanya Damayanti binti
Ustman. Santriwati asal Tulungagung. Saya tahu persis.
Sayang saya tidak punya foto mereka berdua."
119
"Ustadz jangan memfitnah dong. Ustadz jangan
main-main ya."
"Begini Pak Heru. Alamat tinggal saya saat ini jelas.
Pak Broto tahu siapa saya. Jadi kalau saya macammacam
Bapak bisa menindak saya. Saya sarankan Pak
Heru langsung membuktikan sendiri. Jangan beritahu
Silvie. Kalau Silvie diberitahu pasti akan telpon atau SMS
Burhan. Dan Burhan akan berusaha menutupi kebenaran.
Saya sarankan Bapak langsung ke Tulungagung.
Ke rumah tunangan Burhan. Saya punya alamatnya.
Baru setelah itu Bapak boleh mengambil keputusan."
"Baik Ustadz. Kata-kata Ustadz saya pegang. Mana
alamatnya."
Syamsul menulis alamat kantor di mana ayah
Damayanti kerja.
"Pak Utsman, ayah Damayanti itu kepala KUA, jadi
mudah mencarinya. Saya juga akan pegang sumpah
Bapak. Ini hanya Bapak yang tahu."
"Baik. Saya akan ke sana secepatnya. Kebetulan saya
harus melihat travel saya di Surabaya."
Dalam hati Syamsul berkata, "Saya tidak memfitnah
Burhan. Saya hanya ingin menyelamatkan Silvie dari
orang licik seperti Burhan. Ampuni saya jika ini salah
wahai Tuhan." Meskipun dia juga mengakui ia melakukan
ini juga karena didorong dendam.
* * *

Hari terus berjalan. Satu minggu kemudian, di suatu
Ahad pagi, Syamsul sedang bincang-bincang dengan Pak
Abbas mengenai kegiatan remaja masjid di dekat tempat

tinggalnya untuk menyambut Ramadhan. Pak Heru
datang. Syamsul kaget. Jangan-jangan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan, hal-hal di luar yang ia perhitungkan.
Syamsul minta waktu pada Pak Abbas untuk
menemui Pak Heru.
"Assalamu'alaikum." Sapa Pak Heru.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa Pak Heru?" Jawab
Syamsul.
Pak Heru malah menangis, "Terima kasih Ustadz.
Terima kasih. Kalau tidak karena info Ustadz mungkin
saya akan menanggung malu besar. Dan anak saya akan
tidak jelas masa depannya."
"Ada apa sebenarnya Pak Heru?"
"Saya sudah ke Tulungagung Ustadz. Saya sudah
bertemu dengan Pak Utsman. Apa yang Ustadz
sampaikan benar. Pak Utsman bercerita panjang lebar
tentang hubungan putrinya dengan Burhan. Sampai
akhirnya, di akhir cerita Pak Utsman menangis. Karena
pertunangan putrinya dengan Burhan itu harus dia putus
karena akhlak Burhan yang ternyata sangat buruk. Akhir
bulan kemarin Burhan dikeluarkan dari pesantren karena
terbukti mencuri. Burhan sekarang sedang disel di Polres
Kediri karena melukai pengurus pesantren dengan senjata
tajam. Saya benar-benar menyesal percaya pada anak
itu. Oleh anak itu saya dirugikan empat puluh juta. Dia
bilang pinjam buat modal usaha buka toko buku di Kediri.
Setelah saya cek toko itu fiktif."
"Saya tidak mengira sejauh itu Burhan tergelincir.
Terus Silvie gimana Pak? Apa dia sudah tahu?"

"Wa'alaikumussalam."
Begitu Pak Heru pergi, Syamsul langsung lari ke
wartel untuk memastikan kabar itu. la langsung
menelpon ke Kediri, ke kantor pengurus pesantren. Yang
menerima agaknya Lurah Pondok.
"Ini siapa ya?" tanya Lurah Pondok.
Syamsul malah gantian bertanya,
"Ini Lurah Pondok Pesantren Al Furqon Pagu ya?"
"Iya benar. Ini siapa?"
"Ini alumni pesantren tahun kemarin, Kang. Aku
dengar kabar ada sanrri yang disel di Polres apa benar?"
"Ya benar. Karena dia mencuri dan menyerang
pengurus yang akan meringkusnya."
"Dia itu yang namanya siapa itu, yang berambut
gondrong yang dicurigai banyak orang. Saya kok lupa?"
Syamsul menyelidik.
"O yang berambut gondrong itu namanya Syamsul.
Yang disel bukan dia. Aduh kalau teringat dia kami jadi
merasa sangat berdosa. Dia korban fitnah. Kami masih
ceroboh dulu. Yang dipenjara itu Burhan."
"O ya yang berambut gondrong itu Syamsul ya. Saya
kok lupa. Dia korban fitnah maksudnya bagaimana?"
"Dia korban fitnah perangkap si Burhan. Kami semua
berdosa padanya. Kami ingin minta maaf padanya. Tapi
tidak tahu dia di mana sekarang?"
"Sudah ke keluarganya?"
"Sudah. Kami minta maaf pada mereka. Keluarganya
sangat marah pada kami. Dan keluarganya

"Ya. Silvie sudah tahu semuanya. Sebab saya ke
Tulungagung langsung mengajak dia. Dia bersyukur tahu
semuanya. Dan Silvie ingin pura-pura tidak tahu. Tidak
usah berkata apa-apa pada Burhan. Dalam waktu cepat
Burhan pasti bebas dan pasti akan langsung datang.
Setelah keluarga Damayanti memutuskan hubungan,
jelas Burhan akan langsung mengejar Silvie. Saat Burhan
datang itulah Silvie ingin memberinya pelajaran atas
kedustaannya selama ini."
Syamsul hanya manggut-manggut. la merasa dalam
hal itu tidak berhak turut campur. Sekarang dia merasa
lega. la berharap berita yang dibawa Pak Heru benar.
Dengan demikian namanya yang telah hitam di mata
pesantren dan keluarganya kembali pulih.
"Meskipun Burhan itu temanku. Dalam masalah ini
saya tidak bisa ikut campur. Dan saya tidak berhak
berbicara apa-apa. Saya hanya berdoa semoga semuanya
jadi baik." Pelan Syamsul.
"Iya Ustadz benar. Oh ya Ustadz, sekali lagi kami
sekeluarga mengucapkan terima kasih atas informasinya.
Kalau Ustadz ada waktu kapan-kapan setelah mengajar
Delia, Ustadz bisa mampir ke rumah. Sebab ibunya Silvie
ingin memberikan sesuatu pada Ustadz sebagai tanda
terima kasih."
"Sama-sama Pak. Sudah menjadi kewajiban seorang
Muslim untuk saling menjaga dan mengingatkan."
"Saya pamit dulu Ustadz."
"Mari Pak Heru."
"Assalamu 'alaikum."
menyesal, karena Syamsul sudah lama minggat dari
rumah."
"Minggat dari rumah?"
"Ya. Aduh saya jadi ingin menangis. Betapa
kecerobohan kami telah menyengsarakannya."
"Masya Allah, betapa dahsyat ya dampak fitnah itu."
"Iya benar. Sangatbesar. Makanya fitnah lebih kejam
dari pembunuhan. Oh ya siapa namamu?"
"Namaku Adi, Kang. Gitu dulu Kang ya. Assalamu'alaikum.
Salam buat Pak Kiai."
la tidak bohong. Nama lengkapnya Syamsul Hadi.
Dan dia mengambil tiga huruf terakhir dari namanya,
yaitu Adi. Padahal ada banyak nama Adi di pesantrennya.
Lurah Pondok itu pasti tidak mengira kalau dia yang
nelpon. "Biarlah mereka mencariku. Dan akan aku
maafkan jika mau mencium telapak kakiku." Gumamnya
sambil matanya berkaca-kaca mengingat ketika ia
dipukul hingga berdarah-darah. Tangan dan kaki diikat.
Dicacimaki. Digunduli. Dan dikeluarkan dengan sangat
tidak hormat.
Ia juga ingat keluarganya. Nadia pasti sangat
bahagia mendengarnya. Ibu dan ayahnya juga. Tidak
tahu kedua kakaknya. Namun ia tidak akan menelpon
mereka. Ia akan pulang jika telah sukses dan jadi orang.
Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mandiri. Dan
bisa berhasil. Namun tidak memungkiri ia sangat rindu
pada adiknya itu. Sore itu juga ia memberi kabar singkat
pada adiknya lewat telpon. Begitu adiknya mengangkat
hp ia bertanya,

"Ini Nadia ya?"
Adiknya itu menjawab "Ini siapa ya?"
"Nadia ini aku. Syamsul kakakmu. Kakak memberi
tahu bahwa kakak masih hidup. Kau belajar yang rajin
ya. Agar hidup mulia dan bahagia. Itu saja ya.
Wassalam."
Langsung ia tutup.
* * *

Jam lima sore usai mengajar Delia, Syamsul
menyempatkan diri bertandang ke rumah Pak Heru. Ia
ingin menghormati tawaran Pak Heru. Syamsul
disambut ramah oleh anggota keluarga itu. Bu Heru
menyampaikan banyak terima kasih. Dan banyak
bertanya kepada Syamsul. Di antaranya mengenai asalusul
Syamsul.
"Saya dari Pekalongan Bu. Dari keluarga yang biasabiasa
saja. Tidak ada yang istimewa dari saya dan
keluarga saya. Saya termasuk orang yang terlambat
kuliah. Baru tahun ini saya kuliah. Setelah lulus SMA
saya masuk pesantren." Terang Syamsul. Ia tidak mau
membuka lebih dari itu. Tidak juga bagaimana ia pernah
difitnah Burhan. Juga tidak tentang dompet Silvie yang
ia copet. Hanya dompet Silvie yang belum ia kembalikan.
Ia berniat secepatnya mengembalikan.
"Ini Ustadz sebagai tanda terima kasih. Saya ingin
memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami
ini di bidang travel. Kami punyanya tiket. Kami ingin
memberikan hadiah tiket dan akomodasi umroh kepada
Ustadz, Ramadhan ini."

Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia
teringat dengan program Ramadhan untuk remaja masjid
yang telah ia rancang bersama Pak Abbas. Ia tidak mau
meninggalkannya. Dengan hati berat ia menjawab,
"Bukannya saya menolak, Bu. Sungguh saya ingin
umroh. Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab
penuh mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan
tempat saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa."
Bu Heru kelihatan agak kecewa. Namun segera
tersenyum, "Sebenarnya kami ingin Ustadz berangkat
bersama kami. Kalau memang begitu ya tidak apa-apa.
Nanti kami ganti lain kali yang lebih baik, insya Allah."
"Ibu tidak usah memaksakan diri. Sudah menjadi
kewajiban kita saling menjaga. Sudah kewajiban saya
untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
semampu saya. Jadi ibu tidak usah repot-repot."
Pembicaraan berlanjut hingga azan Maghrib
berkumandang.
Bakda Maghrib ia pulang. Dan ia kembali teringat
adik dan ibunya di Pekalongan. Ia berdoa semoga mereka
semua dalam keadaan baik. Ia berusaha memaafkan apa
yang telah dilakukan keluarganya padanya. Termasuk
kedua kakaknya yang memperlihatkan rasa tidak
sukanya kepadanya. Ia berharap semuanya jadi baik dan
bahagia. Ia yakin ibunya sekarang pasti ingin bertemu
dengannya. Namun sekali lagi ia menegaskan dalam hati,
ia belum ingin pulang. Karenanya, agar ibunya tenang
ia akan kirim paket hadiah kejutan.
* * *

Empat
Keesokan harinya, ia ke Pasar Ciputat. Mencari dua
jilbab model terbaru. Satu untuk ibunya dan yang satu
untuk Nadia. Ia juga beli kertas kado. Ia bungkus dengan
rapi. Di dalam bungkusan itu ia sertakan sepucuk surat
yane isinya,

Ia merasa lega. Hutang-hutangnya terasa telah
terlunasi. Ia merasa siap memasuki Bulan Suci Ramadhan
dengan jiwa yang lebih mantap dan dada yang lapang.
Besok adalah hari terakhir bulan Sya'ban. Lusanya
sudah puasa.
Selesai mengirim hadiah itu ia kuliah. Dan pulang ke
kontrakan menjelang Ashar. Ia langsung merebahkan
tubuhnya ke kasur tipis yang ia gelar di atas karpet. Ia pasang
beker. Ia pejamkan mata sebentar. Beberapa detik sebelum
azan ia bangun dan ke masjid. Setelah shalat ia langsung
meluncur ke Flamboyan 17, mengajar ngaji Delia.
Selesai member! privat, ia ingin langsung pulang.
Tapi ia dicegat penjaga masjid di jalan.
"Ustadz Syamsul maaf mengganggu. Saya mau
minta tolong. Begini, nanti malam kan pengajian rutin.
Kebetulan temanya menyambut Bulan Suci Ramadhan.
Lha sayangnya Ustadz Farid yang menjadi pembicara
tidak bisa hadir. Tolong Ustadz gantikan ya?" Jelas
penjaga masjid perumahan mewah itu.
"Aduh mendadak banget ya?"
"Tolonglah Ustadz. Kasihan jamaah jika tak ada yang
ngisi."
Ia mengerutkan dahi. Ia sebenarnya sangat capek
dan letih. Juga belum persiapan. Tapi ia teringat bahwa
copet untuk berbuat jahat saja berani nekat, masak untuk
berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab,
"Baiklah saya coba."
Ia tidak jadi pulang. Ia lebih baik langsung ke masjid
saja. Sampai di masjid ia dibuatkan teh hangat oleh

Lalu ia paketkan kilat tercatat di kantor pos. la
merasa bahagia bisa mengirim hadiah itu. Pada waktu
yang sama ia juga mengirim paket untuk Silvie. Isinya
adalah dompet Silvie, persis seperti saat ia copet dulu.
Tak kurang malah ia tambahi lima puluh ribu. Ia juga
tulis surat singkat,

"Yang menilai kan orang lain Ustadz. Ceramah
Ustadz bagus kok. Kita deal Ustadz ya. Jadwalnya besok
sayaberitahu sekaligus temanya. Bagaimana Ustadz?"
Ia kembali teringatbahwa copet untuk berbuat jahat
saja berani nekat masak untuk berbuat baik tidak berani
nekat. Akhirnya ia menjawab,
"Baiklah saya coba."
" Alhamdulillah."
"Nama saya Doddy Alfad. Ini kartu nama saya."
Syamsul menerima kartu nama itu.
* * *

Sore hari berikutnya, Syamsul kembali ke Perumahan
Villa Gracia. Untuk mengajar Delia dan untuk
menemui Pak Doddy berkenaan dengan ceramah pagi
di stasiun televisi swasta terkemuka. Seperti biasa
Syamsul menunggu di masjid. Sebab janji dengan Pak
Doddy adalah selepas shalat Isya.
Ketika Syamsul sedang berbincang dengan penjaga
masjid, Pak Heru datang. Wajahnya serius.
"Ustadz, keluarga Burhan mau datang ke rumah
setelah Maghrib. Apa Ustadz ikut menemui mereka?"
Pak Heru memberitahu. Mau tidak mau hati Syamsul
bergetar. Bagaimana tidak, ia diminta untuk menemui
orang yang pernah memfitnahnya.
"Tidak usah Pak. Ikut menemui dalam kapasitas saya
sebagai apa? Kan tidak jelas. Bapak dan keluarga yang
menemui kan sudah cukup." Jawab Syamsul berusaha
tenang.

penjaga masjid. Malam itu jadilah ia mengisi ceraman di
masjid yang dihadiri oleh empat ratus orang jamaah. Di
antara jamaah itu ada Pak Broto, Bu Broto, Pak Heru,
Bu Heru, Silvie dan orang-orang penting penghuni
perumahan mewah itu. Syamsul menjelaskan bagaimana
Rasulullah menyambut Ramadhan dengan persiapan
prima.
"Kita semua juga harus menyambut Ramadhan
dengan penuh rasa cinta, bahagia. Seperti rasanya
seorang kekasih menyambut datangnya kekasihnya."
Katanya memberi perumpamaan.
Para jamaah puas. Di antara jamaah itu ada
seorang Direktur Program Religius sebuah televisi
swasta terkemuka Jakarta. Isi ceramah yang ia
sampaikan agaknya mengetuk kalbunya. Bapak
Direktur itu mengajaknya berbincang-bincang setelah
ceramah.
"Gaya bahasa Ustadz enak. Diksinya enak. Timbrenya
pas. Bumbunya pas. Isinya mengena. Joke-joke-nya
berkualitas. Ustadz lulusan universitas mana?" tanya
Bapak Direktur.
"Saya masih kuliah Pak. Ini kan karena Ustadz Farid
tidak datang, maka saya dipaksa menggantikan."
"Tapi bagus kok."
Direktur itu lalu menawarkan kepada Syamsul untuk
jadi ustadz di acara ceramah pagi. "Saya lihat Ustadz
cocok. Ya satu dua kali saja selama Bulan Suci Ramadhan.
Gimana Ustadz?"
"Saya kuatir kalau saya belum pantas Pak."
"Oh ya Ustadz benar. Ya sudah itu saja Ustadz yang
ingin saya sampaikan." Pak Heru lalu kembali pulang.
Syamsul berkata,
"Lho Pak tidak shalat Maghrib berjamaah di
masjid?"
"Sebentar saya ganti baju dan ambil peci." Sahut Pak
Heru sambil tersenyum.
Syamsul memandang pemilik perusahaan travel itu
dengan tersenyum pula. Syamsul kembali ke ruang
takmir melanjutkan perbincangan dengan penjaga
masjid.
"Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak
bertemu dengan Ustadz?" kata penjaga masjid.
"Berubah bagaimana?"
"Berubah lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid.
Dan sif at pelitnya sedikit berkurang."
"Itu bukan karena bertemu dengan saya Pak. Tapi
memang sudah saatnya berubah. Manusia kan berproses.
Umar bin Khattab saja untuk jadi baik kan juga
ada prosesnya."
Penjaga masjid itu manggut-manggut.
"Ustadz benar."
Azan Maghrib dikumandangkan dan Syamsul
kembali didaulat jadi imam. Ketika ia meluruskan
barisan ia kaget. Sepintas ia melihat Burhan masuk
masjid diikuti keluarganya. Ia tetap mengendalikan hati.
Setelah istighfar tiga kali untuk menyucikan dan
menyejukkan hati, barulah ia takbiratul ikhram.
Di rakaat pertama ia membaca Asy Syams dan di
rakaat kedua membaca Az Zilzalah. Ia meneteskan
airmata ketika membaca faman ya'mal mitsqala
dzarratin khairan yarah wa man ya'mal mitsqala
dzarratin syarran yarah.
Selesai shalat dan zikir, Syamsul memberikan
kultum. Ia mengulas dua ayat terakhir surat Az Zilzalah
yang baru saja ia baca. Burhan yang jadi makmum dan
jadi pendengar nyaris tidak percaya dengan yang ia
dengar. Dalam hati ia berkata, "Bagaimana mungkin si
Syamsul yang telah hancur itu bisa jadi penceramah?
Bagaimana ceritanya ia sampai di sini? Apakah dia sudah
tahu perkembangan terbaru yang terjadi di pesantren?"
Ada sedikit kekuatiran dan kecemasan yang menyusup
dalam hatinya. "Kalau ia sudah tahu bisa bikin masalah."
Tapi ia menghibur hatinya bahwa pasti Syamsul tidak
tahu. Dan Syamsul tidak mungkin bertindak bodoh,
sebab ia sedang jadi imam. Kalaupun Syamsul sudah tahu
apa yang terjadi di pesantren, anggapannya, Syamsul
pasti tidak tahu hubungan dirinya dengan Silvie. Putri
Pak Heru yang kaya raya itu.
Selesai kultum Syamsul langsung keluar masjid
dengan tenang. Ia melangkah di samping Burhan. Ia
pura-pura tidak tahu. Burhan berdiri mendekatinya dan
berjalan di sampingnya, membisikkan sesuatu untuk
memancing emosi Syamsul. Bisikan itu hanya Syamsul
yang dengar,
"Hai maling, gimana ceritanya kau bisa jadi imam
di sini? Apa sah shalatnya makmum yang diimami
seorang penjahat? Nanti kalau aku jadi orang sini
132 133
sebaiknya kauangkat kaki sebelum diusir dengan tidak
terhormat kedua kali!?"
Bergemuruh dada Syamsul mendengarnya. Amarahnya
membara. Emosinya sudah di ubun-ubun kepala. la
siap membalas dengan serangan yang lebih dahsyat.
Belum sempat ia bicara Delia memanggilnya,
"Ustadz Syamsul... Ustadz Syamsul?"
Suara Delia itu meluruhkan amarahnya. Menyejukkan
hatinya.
"Ada apa Delia?" Jawab Syamsul langsung menengok
ke arah Delia yang berjalan cepat ke arahnya. Ia
tidak memperhatikan Syamsul. Burhan yang masih di
samping Syamsul, ikut memandang Delia.
"Mau minta tanda tangan. Ini tugas dari Bu Guru
agama."
"Oyasini."
Syamsul menerima buku tugas dan pena dari Delia
dan menandatanganinya.
"Sudah?" tanya Syamsul.
"Masih ada satu lagi." Kata Delia. Burhan masih
belum beranjak. Masih memperhatikan.
"Apa?" tanya Syamsul.
"Ada pesan dari Mbak Silvie?"
Syamsul langsung merasa mendapat senjata unruk
menjawab bisikan Burhan yang sungguh menghina.
Untuk lebih menyerang Burhan yang ada di sampingnya
Syamsul pura-pura tanya pada Delia,
"Silvie yang mana?"

"Itu lho Ustadz, Mbak Silvie putrinya Pak Heru.
Yang biasa kasih privat matematika."
Lalu sambil berjongkok, seolah ingin memperhatikan
pesan dengan serius Syamsul melirihkan suara, dengan
bertanya,
"Mbak Silvie yang cantik itu?"
Delia mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Burhan yang mendengar hal itu hatinya terbakar luar
biasa.
"Pesannya apa?" tanya Syamsul sambil mendekatkan
ke telinganya. Burhan didera rasa penasaran
yang luar biasa.
Delia mendekatkan mulutnya dan membisikkan
beberapa kata ke telinga Syamsul. Seketika Syamsul
berkata, "Yang benar?"
"Benar. Delia berani sumpah mati!"
"Ya ya Ustadz percaya. Sampaikan pada Mbak
Silvie: Ustadz juga sama gitu ya?"
"Baik Ustadz. Cihui... Ustadz juga sama... Ustadz
juga sama!" Delia berlari ke arah jamaah putri.
Burhan tidak bisa menyembunyikan cemburunya.
la langsung bertanya pada Syamsul, "Kau kenal Silvie?"
"Maaf itu bukan urusanmu Sobat. Maaf saya tergesagesa.
Saya harus ngisi di tempat lain."
Syamsul langsung berjalan cepat ke arah sepeda
motornya. la pura-pura sibuk. la nyalakan sepeda
motornya. Sampai di jalan ia teringat janji dengan Pak
Doddy setelah Isya. Ia berpikir langsung saja ke rumah
Pak Doddy. Sementara Burhan masih dibakar amarah

dan cemburu. la ingin cepat-cepat sampai ke rumah Pak
Heru. Dan melampiaskan marahnya pada Silvie. la ingin
menanyakan apa yang disampaikan pada Syamsul itu.
"Awas kau Silvie!"
* * *

Burhan dan keluarganya sampai di rumah Silvie.
Rombongan dua mobil dari Pasar Rebo itu disambut dengan
ramah oleh Pak Heru, Bu Heru, Silvie, Pak Broto dan Mas
Budi, satpam penjaga pintu gerbang perumahan yang
sedang tidak tugas. Mas Budi memakai baju takwa, sebab
bakda shalat Maghrib langsung digandeng Pak Heru.
Silvie bersikap tenang dengan jilbab merah jambunya.
Dalam balutan jilbab mahasiswi ekonomi UI tampak
begitu anggun. Ibunda Burhan memuji kecantikan Silvie.
Dan Silvie hanya tersenyum saja. Dialog dua keluarga
terjadi. Di tengah dialog, Burhan minta waktu pada Silvie
untuk bicara berdua. Burhan ingin melampiaskan
kemarahannya. Tapi dengan halus Silvie menolak.
Burhan tampak kecewa. Pembicaraan terus berlanjut,
"Sebagaimana Pak Heru ketahui, Burhan dan Silvie
sudah lama saling mengenal. Burhan juga, katanya, telah
memberikan cincin pengikat kepada Silvie. Kedatangan
keluarga kami ini ingin menguatkan ikatan itu secara
resmi. Dalam bahasa transparannya kami ingin
meminang Silvie untuk Burhan." Jelas Ayah Burhan
dengan sangat tenang dan penuh keyakinan.
"Inilah yang kami tunggu-tunggu." Jawab Pak Heru
tenang. Burhan mendengar hal itu dengan kebahagiaan
yang sulit digambarkan.

Namun Pak Heru melanjutkan, "Sebenarnya saya
dan keluarga ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja
ternyata kami didahului. Keluarga Pak Anwar lebih dulu
datang. Kami senang dengan kedatangan ini. Karena
Pak Anwar memakai bahasa transparan. Maka saya juga
akan menjawab dengan bahasa transparan. Dengan
segala kerendahan hati saya selaku ayah Silvie menyampaikan.
Saya tidak bisa menerima lamaran Pak Anwar
untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang semoga
kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf jika
keputusan ini kurang berkenan."
Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan
kepalang.
"Apa saya tidak salah dengar Pak?!" seru Burhan
spontan sambil berdiri. Karena yang berbicara Burhan,
Silvie langsung menukas, "Tidak!"
"Apa?!" Burhan mengulang dengan sedikit lebih
keras.
"Apa telingamu bermasalah, Bung. Ayahku cukup
berbicara satu kali. Tak perlu diulang. Ini cincin dustamu
itu saya kembalikan! Dasar santri bajingan!" Darah muda
Silvie bergolak. la yang biasanya berbicara lembut saat
itu amarahnya meledak.
Pak Anwar yang sebenarnya marah mencoba
meredakan suasana yang sama sekali jauh dari yang ia
bayangkan itu.
"Sebentar-sebentar, masalah sebenarnya apa?
Kenapa Pak Heru menolak. Tolong bisa dijelaskan. Mari
kita berdialog dengan kepala dingin. Mungkin ada salah
paham."

"Saya ingin Pak Anwar menerima dan menghargai
keputusan kami. Meskipun tanpa alasan sama sekali. Toh
sebenarnya antara Silvie dan Burhan tak ada ikatan apaapa
secara agama. Saya tidak perlu menjelaskan. Kiranya
Pak Anwar pasti sudah mengerti alasan kami. Kalau kami
menjelaskan nanti malah semakin tidak enak." Jawab
Pak Heru tenang.
"Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan.
Tolong jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak diterima
karena Silvie sudah tidak layak bagi saya!" tukas Burhan.
"Burhan, kalau bicara yang sopan! Silvie sudah tidak
layak bagaimana? Apa maksudmu?" seru Pak Anwar,
ayah Burhan.
"Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie
sudah hamil dengan pria lain misalnya?"
Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak
tertahankan,
"Tutup mulutmu, Bajingan! Aku sudah tahu siapa
kamu? Kau tak lebih dari sampah busuk! Dikeluarkan
dari pesantren karena mencuri dan memfitnah orang!
Dipenjara karena melukai orang. Penipu ulung, mana
modal empat puluh juta yang kaupinjam untuk toko
bukumu itu. Toko buku fiktif. Terus bagaimana dengan
Dalmayanti? Setelah kau ditolak di Tulungagung kau
lari ke sini. Jika sampah itu telah dibuang dari pesantren
dan tidak diterima di mana-mana apa kami harus
menerima. Bukankah lebih baik sampah itu didaurulang
dulu agar berguna. Kalian ini ingin dihormati tapi tidak
bisa menghormati. Dan kau Pak Anwar, sudah tahu
anaknya sampah masih juga tidak tahu diri! Mungkin

kalian tidak percaya yang saya sampaikan! Masih ingin
bukti? Ini!"
Silvie melempar Koran. Koran itu mcnggeletak di
meja. Ada sebuah judul yang tertera jeas: DIPENJARA
KARENA KEJAHATAN DI PESANTREN. Dan terpampang
jelas foto Burhan yang gundul. Melihat hal itu
Pak Anwar dan isterinya langsung pucat pasi. Mereka
sangat malu.
"Hei, Maling, apa kaukira bisa menipu kami bahwa
gundulmu itu karena umroh, bukan karena digunduli di
pesantren!"
Kata-kata Silvie sangat mengguncang Burhan. la
tidak kuasa menahan amarahnya.
"Kurang ajar kau! Berani menghina aku ya!"
Dan., plak!
Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian
itu sungguh tidak diduga. Burhan kembali Ingin
menghajar Silvie. Namun Mas Budi cepat bertindak. la
segera mengatasi Burhan. Burhan melawan, tapi Mas
Budi yang jago karate itu dengan mudah melumpuhkannya.
Mulut Silvie berdarah. Sambil meringis ia berkata,
"Saya tidak terima. Ini harus diproses hukum!"
Pak Anwar, dengan berlinang airmata berkata
terbata, "Nak Silvie, Pak Heru dan Bu Heru maafkan
kami. Sungguh kami sangat terpukul.Baru kali ini kami
tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan anak kami.
Selama ini kami percaya penuh padanya. Kami memang
kurang kontrol dan terlalu memanjakannya. Saya tidak

tahu dengan apa yang telah diperbuatnya sampai dia
dikeluarkan dari pesantren dan dipenjara. Saya juga tidak
tahu perihal penipuannya. Maafkan kami. Tapi tolong
jangan laporkan Burhan ke polisi. Saya minta..."
Silvie menggeleng.
"Tindak kejahatan harus diproses oleh hukum!"
Silvie lalu minta Mas Budi mengamankan Burhan.
Burhan langsung digelandang ke pos satpam. Di pos
satpam, Burhan diberi pelajaran tambahan oleh dua
orang satpam.
Keluarga Burhan pulang dengan membawa malu
luar biasa. Seorang lelaki berjas abu-abu berkata pada
Pak Anwar dengan kesal bercampur marah, "Saya
sangat malu pada Pak Heru. Pak Heru itu teman baik
saya di SMA. Saya jadi tahu kenapa tadi Pak Heru
pura-pura tidak kenal saya. Itu gara-gara ternyata saya
mengantar seorang penjahat ke rumahnya. Mengantar
seorang penjahat untuk melamar anaknya. Saya malu
Pak Anwar! Sejak sekarang hubungan bisnis kita
putus!"
Ketika polisi datang mengambil Burhan dari pos
satpam, di saat yang sama Syamsul mengambil
jadwalnya dari Pak Doddy dan ia meneken kontrak
tayang di televis. Tanda tangannya bersanding dengan
tanda tangan orang penting di stasiun televisi itu.
Angin yang bertiup spoi-spoi seolah mengalunkan
firman Allah, faman ya'mal mitsqala dzarratin khairan
yarah zva man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah.

Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya
dengan penuh bahagia. Syamsul sibuk dengan jadwalnya:
mendampingi kegiatan remaja masjid, imam
tarawih, privat, kuliah, ceramah, dan shooting ceramah
di televisi.
Ia muncul di televisi dua kali selama Ramadhan.
Tanggal 9 Ramadhan dan tanggal 27 Ramadhan. Ia
mempersiapkan ceramahnya dengan sungguh-sungguh.
Ia ajak remaja masjid untuk menyertainya latihan.
Seolah-olah di studio. Mereka sebagai audiens nya. Ia
minta masukan dan kritikan. Sampai menemukan
bentuk dan performa terbaik.
Tanggal 8 Ramadhan ia menelpon Nadia adiknya.
Ia meminta untuk nonton ceramah pagidi stasiun televisi
Ajam D. "Jangan sampai tidak nonton. Kakak ikut dalam
pengajian itu. Ia tidak mengatakan sebagai pembicaranya.
Beritahu ayah, ibu dan kakak ya."
Ia juga menelpon pesantrennya. Kepada kurah
Pesantren ia bilang,
"Kang tolong besok seluruh santri nonton ceramah
pagi distasiun televisi A jam D. Pengisinya seorang Ustadz
muda alumnus pesantren kita. Jangan lupa sampaikan
pada Pak Kiai." Ia tidak bilang itu dirinya. la masih
mengaku sebagai Adi. Seperti di telpon sebelumnya.
Pada hari H, ia tampil dengan sangat prima di
televisi. Ceramahnya hidup. Direktur Program dan para
kru televisi memuji. Di Pekalongan, adiknya Nadia,
ibunya, ayahnya dan kedua kakaknya menangis.
Demikian juga di pesantrennya.

Di Flamboyan 19 Silvie menyaksikan dengan hati
penuh cinta. Tanpa sadar, ia berucap, "Orang seperti ini
yang kudamba. Sederhana. Rendah hati. Namun penuh
potensi!" Kata-kata Silvie itu didengar dengan baik oleh
Pak Heru dan Bu Heru.
"Baiklah kita datangi Ustadz Syamsul nanti sore
sebelum kita terlambat. Semoga dia belum punya calon."
Kata Pak Heru menukas.
Silvie terkesiap mendengarnya. Lalu hatinya
berbuhga-bunga. Ia mengamini doa ayahnya. Dalam
hati ia berharap di Bulan Suci Ramadhan ini ia
mendapatkan cinta sejatinya. Sejenak pikirannya
berkelebat, teringat pada pesan sebuah buku yang pernah
dibacanya, "Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan.
Kamu tidak perlu mengambilnya dari seseorang untuk
memberikannya kepada orang lain. Kamu selalu
memilikinya lebih dari cukup untuk diberikan kepada
orang lain." Silvie teringat pesan itu. Ia ingin memberikan
cintanya kepada Ustadz Syamsul. Karena ia yakin, ia
benar-benar memiliki cinta untuk diberikan kepada
Ustadz Syamsul, ustadz idaman yang kini memenuhi
ruang hatinya.
* * *

Sidang pembaca yang dirahmati oleh Allah Swt.
Bagaimanakah kisah cinta Silvie dan Syamsul
selanjutnya? Akankah Syamsul menerima lamaran si
Silvie? Bagaimanakah kehidupan Syamsul selanjutnya?
Akankah ia makin sukses di kehidupannya mendatang?
Dan Bagaimanakah kelanjutan cerita Syamsul seleng-

kapnya? Bagaimana sikap keluarga dan pesantrennya
yang dulu mengusirnya? Temukan saja jawabannya di
edisi romannya: DALAM MIHRAB CINTA, yang semoga
bisa segera diluncurkan. Mudah-mudahan Allah
memberikan kekuatan kepada kita semua untuk beramal
kebaikan di dunia ini untuk bekal kelak di akhirat nanti:
faman ya'mal mitsqala dzarratin khairaii yarah wa man
ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah.
Candiwesi, Salatiga-Pesantren Basmala,
Semarang-Malaya University, Malaysia,
17 Agustus 2006 - 27 Desember 2006.
* * *